Senin, 04 Maret 2013

Pelajaran 2


mana batas dimana kita tangkap gejala
dimana kita pecahkan tanda
membalur ngeri pada sekujur karaguan

aku heran pada diri
ketika kubayangkan wajahmu
dengan senyum malu-malu
tak lagi tergores rona biru

di antara kertas- kertasku ada sebuah panggilan
yang membuat segala suara tercekam
dan hanya gerutu yang mencoba tepiskan kegentaran
suatu permintaan menjengkelkan
kalau tak dikabulkan aku bisa disetankan

tentu saja  aku takut membayangkan bui
atau ditanyai petugas berseragam coklat gradasi
hanya karena aku menolak membungkuk
agar anganku sepadan dengan harapan penguasa korup

Tuhan, pasti ini salah alamat
bagaimana segala yang kami kerjakan dan harapkan
musti diuji kembali setelah terang kami menolak dibeli?

dan soal dirimu dan hidupku
terlalu berlainan untuk dikait-kaitkan

Kamis, 06 September 2012

Pulanglah

Pulanglah engkau, wahai jiwaku sayang...

Itu tubir milik tabiat yang engkau tak sepakat. Karena itu bergegaslah mendarat pada lintasan yang kau yakini dengan segenap hati. Lihat dirimu, wahai jiwaku! Mengapa engkau melulu terbawa cumbu rayu kebahagiaan semu, terseret gerutu bisu laku, atau laku jelita yang malu-malu dan disulam dengan nada-nada penuh reka-reka, biang-biang sifat penjilat. Lebaranmu belum lama berlalu, dan kata pulang membekap tiap perjalanan engkau mengemis maaf dan mengais ampuan, seandainya saja niat itu tak salah alamat, jadi tegakkan hati, ya! Pulang bukanlah suatu kata ngawang dan angan buat senang doang. Pulang adalah engkau kembali menyusuri pahitnya kata hati, pahitnya apa yang kau imani, pahitnya apa yang kau rasai. Pulang adalah engkau kembali ke rumah tempat dirimu berasal, melampiaskan kerinduan dan keramahan manusia yang terhubung denganmu tanpa kau minta, tanpa mereka minta, dan belum tentu juga selalu bermuka penuh pesona; kadang ia adalah kekuarangan, kadang ia adalah kesederhanaan, kadang ia hanyalah penerimaan, dan kadang ia juga sesuatu yang sangat mahal setara dengan keikhlasan dan kepolosan.

Pulang, kadang juga berarti engkau mau membaca ke belakang; tentang garis yang tak bisa kau bantah, tentang jejak yang tak bisa kau hapus, tentang mereka yang memeluk bathinmu dengan begitu mesra sekalipun engkau tak pernah merasakan keberadaan mereka, enggan menghadirkan mereka yang jelas namun tak terkira dalam ziarah ingatanmu. Kemudian mencoba membaca mereka yang terhubung tanpa kau minta, mereka yang selalu ada disekitar bahkan sebelum engkau mengada dan mengenal mereka. Mereka yang pertama kali menimang jiwamu, memeluk hatimu dengan kebijakan dan kehangatan selimut asal. Dari situ, dari situlah adamu merayap dan bergerilya mencoba mendongak pada dunia, pada semesta.

Hengkahlah ! Hilang nyalang berkeliaran di kegelapan langkah. Buncahkan semangat dan nyalakan api rahmat di setiap kepal tinju yang telah engkau warisi dari para pendahulu, wahai jiwa! Ada meraka sudah cukup menjadi alasan yang berharga untuk terus bertahan tanpa harus terjerumus dalam kerumunan yang menyesatkan. Kerumunan yang memanjakan kamu dengan kebahagiaan instan, kerumunan yang membuat engkau merasa masuk dalam kemegahan paling gilang. Sementara engaku, jiwaku, terlepas dan berkeliaran tak jelas. Bukankah di meraka hanya ada kata-kata yang terucap dengan kebohongan dan kesombongan yang memang terlalu cantik untuk ikut kau rasai. Belur dan bilur di sekujur bathin yang masih ringkih dan engkau tak siap hancur. Tak siap lenyap jiwanya dalam semalam saja. Tak siap terbekap oleh sesuatu yang tak kau kenali. Sesuatu yang asing bagi kemanusiaan kita yang memiliki cara hidup dan pikir sederhana.

Ingatlah poyangmu yang polos itu. Atau camkan kisah manusia yang menanggalkan jubah kegembiraan yang sia-sia. Jangan musuhi kegembiraan mereka yang memang gembira. Jangan memusuhi keriangan mereka yang memang nyalang dan memekikkan telinga. Tetapi cobalah untuk tak perlu terusik. Tak perlu merasa disergap berisik. Biar mereka terus ngomong, anjing terus menggonggong. Kita seharusnya tetap bercakap, jiwaku. Kita seharusnya sering bertemu. Tak usah dengan sejuta kata yang merdu. Cukup kita saling pengertian. Musik dan sajak yang indah ialah ketika engkau dan aku bersepakat dalam pilihan-pilihan dan bertanggung jawab kepada mereka tanpa gerutuan.

Maka pulanglah, jiwaku! Lalu kita bikin kesepakatan seperti pada saat kedaulatan kita belum goyang, seperti pada masa kanak ketika kita begitu berkuasa dengan kemauan hati, seperti pada masa remaja ketika kita lincah mengelak dari godaan kesenangan yang percuma dan dari selaan hiburan yang merengek-rengek manja.

Senin, 23 Juli 2012

The Ides Of March : Ketika Clooney berkampanye “merevisi’ Amerika


Cerita mengenai intrik politik di mana saja hampir seragam; saling sikut, saling mencari celah, nunggu lawan lengah atau dibalik terjadinya tranasaksi politik berjalan di atas pemerasan cerita pribadi. Kalau tak ada, ciptakanlah konflik atau paling busuk adalah ciptakan jebakan. Sediakan perempaun muda untuk jebakan, sediakan pemain cadangan demi pengukuhan kekampiunanmu atau agar terkesan memiliki lawan yang tangguh. Sediakan pemain pemula untuk jadi tim suksesmu, karena manakala engkau tak memiliki permianan apa-apa atau kalah paling tidak engkau punya pemain gelandang baru yang bisa ditumbalkan.

Cara kampanyenya? Munculkan gaya yang belum pernah dimiliki pendahulunya; mulai dari apa yang ingin diperjuangkan, cara berorasi, teks pidato yang memikat yang ditampilkan dengan tulisan tangan seolah-olah sang calon yang menyusunnya sendiri. Gunakan psikologi terbalik manakala yang “positif” telah membuat orang muak. Kalau perlu sarankan mereka tak perlu memilih dirinya manakala ia adalah seperangkat kelakuan yang tak sesuai dengan norma dan prinsip kemanusiaan yang dipakai sebagai topeng dalam kampanyenya. Bukankah lebih mudah mengaku bahwa kita buruk dengan menyajikan nilai-nilai yang berlawanan. Sehingga ada pesan tersirat yang ditujukan pada para pemilih yang sedang belajar untuk menjadi pemilih agak pintar?

Kira-kira hal semacam itulah yang ingin disampaikan film The Ides of March. Adalah Stephen Meyers (Ryan Gosling), seorang pemuda idealis yang sedang menanjak karirnya sebagai konsultan politik dan menjadi tim sukses dari kandidat yang dia kira memiliki visi serta dapat dipercaya. Dengan idealismenya ia menjadi buta dan pada akhirnya “terjebak” dalam dunia politik yang sama sekali jauh dari apa yang ia perkirakan. Masuk dalam perangkap perseteruan dua pemain gaek dari masing-masing tim sukses yang bertarung. Gubernur yang ia kira memiliki visi yang cemerlang itupun ternyata juga memiliki kebusukan.

Sang Gubernur (diperankan oleh George Clooney), untuk sementara unggul visi dan misi yang ia kampanyekan di berbagai pidato kampanye seolah hendak merevisi semua kebijakan yang pernah diambil oleh pemimpin-pemimpin Amerika pendahulunya. Tak ada invansi (ingat Bush) sebab Amerika tak akan mengais minyak negara-negara Timur Tengah. Tak ada distribusi kredit dan modal hanya apada si kaya saja. Dan kata-kata yang sering ia ulang, yang sangat manjur sebagai senjata pemersatu Amerika sebagai negara yang berisi heterogenitas, mirip dengan kata-kata Ahmad Wahib : aku bukan Hindhu, aku bukan Yahudi dan aku bukan muslim. Tentu saja yang terakhir pengecualin.

Namun ganasnya dunia politik tentu menolak untuk gampang ditebak aturan permainannya. Sebab terkadang aturannya instingtif. Celah menang, goyahkan. Dan sang pemula yang sedang naik daun sebagai tim sukses itu kesandung juga. Ia menjadi tumbal perseteruan dua kampiun dari masing-masing tim sukses yang sedang berlomba. Perjuangan mati-matian yang ia mainkan demi nama baik sang kandidat, bahkan hingga “menyingkirkan” pegawai magang yang masih di bawah 21 tahun yang ditiduri oleh kandidat yang didukungnya (ingat skandal Bill Clinton dengan Lawinsky), tiba-tiba didepak dari tim sukses dengan gampangnya. Ia dicampakkan begitu saja hanya karena ketahuan bertemu pihak lawan dan mau diajak negosiasi.

Sakit hati tentu saja. Kenyataan pahit seolah membuat ia bangun dari tidur realisnya. Sementara kesuksesan yang ia impikandan hampir diraihnya tak akan ia kubur begitu saja. Buanglah kemanusiaan. Kartu truff sang kandidat ia gunakan untuk memeras. Dan puncakpun ia raih. Sekali lagi, gaya politik a la Machiavelli masih memiliki taring hingga kini. Ia menanjak hingga puncak. Ia peras sang gubernur dengan kesaksian pegawai magang yang ditiduri dan memintanya memecat sang mentor sekaligus seniornya dari tim sukses untuk kemudian posisi itu ia yang menduduki.

Tak banyak beda dari film-film politik pendahulunya. Namun ada hal yang layak kita pelajari dari sana. Dimana pada setiap permaianan ada satu peraturan yang tak bisa dilanggar: sebusuk apapun engkau bermain, prinsipnya adalah engkau memiliki kesetiaan. Pada saat engkau dipecat atau tak dipakai lagi jasanya oleh pihak yang tadinya kamu bela dan perjuangkan, bukan berarti engkau lari dan mengemis pada pihak lawan unuk sebuah pekerjaan. Dan lawan yang memiliki respektabilitas tentu akan menolak “kutu loncat” yang bisa jadi suatu saat juga tak memiliki loyalitas lalu mengkhianati pihaknya, selama ia tak diuntungkan apa-apa. Karena respek itu, dalam etos kerja ranah apapun, musti dipakai. Gampangnya, mental setia atas nama kehormatan gaya Adipati Karna adalah mental politik dasar. Bandingkah dengan yang terjadi di negeri ini akhir-akhir ini, kita sudah terbiasa mendengart dan tak lagi merasa aneh pada saat panggung politik negeri ini dibanjiri kutu loncat , seorang pelaku politik yang sudah diberhentikan oleh badan tertentu atau partai tertentu dengan tidak terhormat, malah lari atau direkrut oleh sebuah partai atauapun pihak lawan.

Barat, dengan segala sarkasme politik mereka, masih juga mampu menjejali kita dengan nilai-nilai yang layak diapresiasi. Selamat George Clooney!

Kamis, 12 Juli 2012

Aku Rakus Pada Pagi


Aku rakus pada pagi

Jadi tolong enyahlah kau kopi

Biarkan kerongkonganku miskin kehangatan


Aku rakus pada pagi

Jadi jangan tanya mengapa aku tak lekas mandi

Apalagi gosok gigi


Aku rakus pada pagi

Jadi maafkan telah abai

Pada senyum dan anggukan ramahmu di jalan


Aku rakus pada pagi

Jadi mengapa rasaku begitu buncah

Saat terdengar kicau burung atap rumah sebelah


Aku rakus pada pagi

Karena itu sebelum persoalan di bumi kugumuli

Aku menantang langit mengedip genit


Aku rakus pada pagi

Jadi segala yang hanya terjadi di sana

Tak ingin aku lewatkan


Aku rakus pada pagi

Jadi mungkin aku akan lebih tak peduli

Pada ketergesaan yang hampir dimiliki umat manusia

Sebegai kekecualian dari yang kuingini


Aku rakus pada pagi

Jadi sebelum semua guratan kata dibentangkan

Nyala hidup di nyalangkan

Aku masih asik mengenang tadinya tadi di jendela kandang


TP, 12712

Rabu, 11 Juli 2012

Kurus

Kurus

Jokowi kurus karena banyak kerja, kira-kira demikian seorang petinggi partai yang pernah menjabat jadi wakil presiden dan juga jadi presiden berujar merujuk kekerempengan Jokowi. Entah dalam rangka mempromosikan Jokowinya atau malah sedang numpang promosi partainya, lupa bahwa dirinya tambun juga. Lalu apakah anda kurang kerja atau terlalu bermalas-malasan sampai badan anda melar? Mafhum mukholafahnya kan demikian. Maklumlah sang suami pengusaha cum anggota dewan, dari rezim beberapa rezim, bahkan ketika dikasih fasilitas yang dianggap "wah" dan menyilaukan mata hati rakyat kita; malah berujar wajar saja dapat fasilitas. “Pantas, kan wakilnya rakyat", kira-kira demikian kutipan bebasnya.

Tetapi andaikata memang benar kekerempengan dan kekurusan adalah indikasi kerja keras hingga lupa memanjakan lidah, kita bisa merujuk ada alm. Munir yang kerempengnya nggak ketulungan. Ada juga alm. Pram yang selalu menolak kebuncitan sejak dalam ide dan pikiran. Sementara wakil-wakil rakyatyang kita punya, ada selisih melaba antara berat badan setelah dan sebelum jadi wara (wakil rakyat). Grafik ketambunan naik.

Dan, lihat! Pemuda yang menjadi ketum sebuah partai penguasa, tambun benar, menteri-mentri yang belum lama meninggalkan predikat aktivis mereka, seragam tambunnya. Cepat benar?!!!

Lhoh, wajarlah siang malam mereka berurusan dengan kertas dan duduk di kursi kerja menghadap tumpukan data dan berkas. Sehingga tingkat nyemil tinggi dan lupa tidak olah raga. Memangnya mereka artis apa? Yang mau susah payah ngegym demi bentuk tubuh dan punya banyak waktu untuk melakukan semua itu? Mereka sibuk euy! Memangnya mereka pekerja otot? Memangnya mereka gelandangan yang tak punya rumah?

Saya tetap saja sangsi. Bukan bermaksud mau membeda-bedakan manusia berdasar gemuk- kurus. Juga bukan sedang bersikap casing-chauvinist sebagaimana yang dituduhkan saudara saya. Namun sori saja, tubuh, tetap saja adalah indikator utama manusia menilai dan merasa. Ia yang membantu kita mewujudkan apa yang ada dalam benak kita. Ia yang menjadi pekerja dalam kehidupan ini. Anda makan sembarangan, organ pencernaan akan protes. Anda lupa makan, tubuh akan protes, anda terlalu banyak melakukan aktifitas yang tak sesuati kapasitas, tubuh akan memberi sinyal kalau ia kelelahan, sakit dan tak bisa diperlakukan seenaknya.

Kalau anda tiap hari mengupdate isi otak dan mengasah kecerdasan pikiran tiap saat, kenapa kepada tubuh tidak memberikan waktu untuk meningkatkan atau paling minimal memelihara keperkasaan mereka?

Lho, tapi kalau tubuh sedikit gemuk kan bisa jadi pertanda makmur?

Pertanyaan juga boleh dibalik dong, bagaiman kalau tanda kemakmuran tak harus besar, atau bagaimana kita tak mudah rela jika tubuh kita menanggung akibat kerakusan kita?

Mengapa mesti risau dengan kemelaran tubuh? Kalau maunya langsing terus, kita menciptakan rezim untuk tubuh kita dong?!! Toh banyak orang tambun yang berkarya terus, bekerja dengan giat. Sedangkan kata langsing bisa gampang dimiliki oleh mereka yang punya duit lantaran fasilitasnya dan sudah saking tak herannya dengan makanan. Atau mereka yang hanya peduli pada bungkus doang, sampai lupa otak bawang kothong. Mau bilang apa?

Saya akui banyak manusia bertubuh tambun dan cekatan dalam bekerja. Yang membuat saya tergelitik adalah ketambunan yang menyerang dengan cepat manakala kesuksesan dan jabatan didapat. Juga keheranan saya terhadap mereka yang ngaku para aktivis yang pada awal karir kurus kerontang namun hanya beberapa tahun ke depan langsung gendut nggak ketulungan. Sementara buruh tani, buruh bangunan, buruh pabrik, kernet, tukang becak tua tetap saja menyandang kekurusan hingga usia senja. Bukan kurus karena jaga kesehatan atau apa. Namun karena bagi mereka makan itu cukup dua kali atau tiga kali dengan porsi yang sangat pas-pasan dan jauh dari mencukupi kebutuhan gizi.

Jadi kurus, untuk saat ini, adalah sebuah gerakan pembentukan badan ideal yang pro-rakyat serta sesuai dengan sila ke empat dari lima sila itu.

Ah, lagi-lagi soal takaran…

Arsip Blog

Cari Blog Ini