Ashar yang indah!
Ah, sebetulnya mana ada waktu yang tak indah?
Aku pergi bersama adik-adikku. Tidak dalam rangka hura-hura, hanya bisnis kecil-kecilan. Setelah urusan kerjaan beres. Kami menghadiahi diri dengan pergi ke mall. Untuk beli sabun stok 1 bln. Nah, ìnilah acara yang ditunggu-tunggu adik kecilku. Dia itu lapar mata, tapi kenyang dengan sendirinya kalau sudah melihat-lihat(terutama mainan). Ia yang masih 8 tahun berbaju koko berpeci haji dan lengkap dengan sarung 'unyil'nya, sebab dia habis jumat. Melangkah dengan wajah sumringah, tersenyum yg menyerupai tawa tak bersuara. Gigi susu yang keropos itu tampak. Lucu! Bukan lantaran dia adikku aku bilang begitu. Tapi sebab kami sedang dalam keramaian pasar (ekonomi maupun sosial) dengan identitas yang kontras. Sandal jepit, celana+baju koko, peci rajut. Aku, berjilbab, juga bersandal jepìt. Baju dan kerudung berbulan2 tak tertindih setrika.
Tentu saja itu biasa. Biasa banget malah. Mewah? Mungkin, kalau masih ada yang menganggap pergi ke mall adalah gaya hidup 'wah'.
Tapi bukan itu maksud yang ingin saya utarakan. Saya cuma ingin menuliskan bahwa, kami yang kadang tampak teraliensi, bangga dengan identitas 'ndesa' kamì. Di tempat2 manusia datang dengan dalih ekonomi padahal lebìh dalam rangka ekshibisi sosial.
aku bangga karena kami tak merasa minder bersendal jepit. Mondar-mandir tanpa es krim atau sepotong cokelat. Kami tak pernah benar2 tak terbiasa menikmati cemilan macam itu. Kami juga tak memimpikannya. Tak tahu kenapa. Mungkin saja karena kami orang desa.
Tapi kalau boleh membela diri bukan karena alasan itu kami tak bercokelat dan menjilat es krim. Kami muak dengan gaya hidup yang dibuat2. Kami muak dengan ekshibisi sosial yang keropos. Taruhlah di panggung begitu sempurna, di dapur mereka tak jelas rimba. Cantik sebab rajin ke salon. Mewah berandalkan kartu kredit. Impresif karena latihan/buatan. Tidak alami lagi.
