Setelah petir menggelegar tanpa ada gerimis, tiba-tiba hujan menghujam bumi. seperti biasa, pengembaraan malamku tersendat. Bayang-bayang akan lampu malam yang mengunduh hasrat jaga sirna. Dan akupun kembali masuk pada labirin sunyiku, tempat aku bercakap-cakap dengan diriku. mengurai tanya, tercengang entah karena apa. Hujan menggiringku pada senandung kanak-kanakku yang tak pernah mati. Sekaligus jelas ia mempertegas aku berada pada masa kini. aku teringat pertanyaan kawanku; "Apa yang kau pikirkan jika kau berada pada suatu malam yang gulita di tengah-tengah samudera dan gunung-gunung yang menjulang tinggi dan kau sendirian, merasa kecilkah?"
Sebelum aku menjawabnya aku mencium aroma jebakan disana. "....merasa kecilkah?". oke, kawanku telah menggiringku pada sudut pandang "merasa kecil". dan aku memang mengamininya karena akupun menjawab " jiwa-jiwa yang mampu terdampar pada keheningan adalah jiwa yang ingin bercermin, berakrab ria dengan dirinya, menenali diri, bertemu dengan sang "liyan". sepi, terasing, dan meresa kecil." karena aku tak mau terjebak oleh ranjau question tag si kawan maka aku melanjutkan "tetapi bukan pada jawaban itu jiwaku tercermin"{sumpah! Ini cuma caraku menghindari ranjau yang ia pasang, karena aku tak tahu mau kemana arah aku dibawa debat kusir}.
Dan benar ia menjawab " Mengapa manusia selalu merasa kecil di tengah-tengah semesta, sedangka manusia di bekali dengan akal?"
Apa gue bilang, untung gue njawab " tapi bukan pada jawaban itu jiwaku tercermian". Lolos gue dari jebakannya. Tapi berikutnya aku gak mau kalah dong, mendebat dia dengan dalih " merasa kecil bukan dalam rangka menafikan anugerah berupa akal itu, kawan!". Merasa kecil diantara hamparan ciptaanNya adalah etika "merasa" itu sendiri. dan "etika merasa" itu bagian dari syukur akan keberadaan akal, bukan dijadikan karakter kerja akal!
Wah, sampai disini dulu ah!