Jumat, 04 September 2009

Berhenti Menulis Status di Facebook

Facebook atau juga buku muka itu, yang sampai kini masih menyedot perhatian yang cukup besar, memang cukup fenomenal. Orang-orang berbondong-bondong membikin akun facebook. Mengisi tiap kolom yang menginformasikan tentang diri. Meng-up date status. Mengirimkan tautan. Memajang foto. Menulis catatan. Terhubung dengan kolega, sahabat, tetangga, temannya teman, bahkan adik-kakak suami-isteri yang setiap hari bertemu juga berkomunikasi ria melalui facebook.

Aku sebetulnya agak risih juga ketika beberapa teman menyarankan untuk membikin facebook. Pikirku, ini adalah sebuah kegemeren masif yang lama-kelamaan akan hilang ditelan tren yang lain, seperti nasib friendster, hi5, ataupun twitter. Tapi, demi sedikit menghapus identitas kekampunganku, aku bikin juga. Malahan dapat order membuatkan facebook untuk beberapa teman. Satu dua bulan aku menikmatinya. Rajin berlama-lama disana. Tapi lama-lama aku jenuh. Orang-orang jadi tampak seragam. Dan aku sendiri mulai mengikuti arus kelatahan itu…… Menulis status yang cenderung dangkal.

Aku tak mau terbuai pada hal yang kadangkala menyimpang dari tujuannya. Komunikasi, networking, sillaturrahmi, reuni, begitu niatan kita waktu membuat akun facebook. Dan memang benar akhirnya teman-teman dari dunia masa lampau kita kembali. Berkumpul. Saling sapa. Melepas kangen. Tetapi apa yang terjadi berikutnya? Kita terlena. Sibuk memperbarui status. Sibuk mengecek dan mengomentari status teman. Berlama-lama “nongkrong” di sana. Entah karena “tersesat” atau disengaja. Aku merasa tak sedang beraktualisasi, melainkan sekedar ekshibisi. Aku tidak sedang menghibur diri, cuma membohongi diri. Aku tak belajar menulis di sana. Aku hanya belajar tersendat-sendat menata kata. Aku tidak belajar berdiskusi disana, tapi belajar tertawa. Aku tak belajar menata pikir di sana, hanya belajar jadi kolokan dan memamerkan keremajaan.

Menit-menitkuku tercuri oleh sesuatu yang sejatinnya oleh hati kecilku diingkari.

Maka ada baiknya aku membiarkan facebook itu terlunta sebelum aku memutuskan menutup akunku di sana (masih pikir-pikir juga nih!).. Mengurangi durasi online. Sesekali masih berkomentar ke status teman atau sekedar memperhatikan mereka. Bukankah itu yang banyak orang harapkan? Lebih banyak diperhatikan daripada memperhatikan. ( saya tidak tahu logika ekonomi mana yang membenarkannya. Karena menurut saya akan beruntung jika kita lebih banyak memperhatikan dari pada diperhatikan. Akan lebih untung jika kita lebih banyak “mengetahui” daripada “diketahui ) Karena setiap individu tak rela ia jadi sang pemerhati yang tak pernah diperhatikan. Maka apa yang kita lakukan untuk menjadi pusat perhatian? Menuliskan status yang mampu menarik orang lain menuliskan komentar atau menyukainya dengan memberikan acungan jempol tanpa alasan ( atau mungkin tanpa alasan itulah alasannya?).

Tak seekstrim itu mungkin..?!
Dibikin asik saja kenapa?!! Bagiku itu tak mudah. Aku, yang jelas-jelas mengidap narsisme akut, tak mau cepat mati tenggelam dalam telaga cinta diri.

Karena….Narsisme itu tak perlu apresiasi. Narsisme itu tak perlu penghargaan. Narsisme hanya perlu pujian tanpa alasan. Narsisme tak pernah menghargai orang lain. Kalaupun ia tampak menghargai orang lain, karena ia ingin mendapatkan popularitas dari sikap menghargai itu. Ia ingin numpang tenar. Ia mendompleng kemewahan dari apa yang dia puji.

Kini, aku berhenti menulis status disana. Sebagai gantinya, aku akan berusaha menulis diblog ini sesering mungkin. Dengan konsekuensi tak ada yang membaca, tak ada yang berkomentar. Kembali akrab dengan "diary" ini. Menulis "status" batin saya yang gundah. Bermain menata kata, atau malah makin memporakporandakannya.

Entahlah!

Arsip Blog

Cari Blog Ini