Berbahagilaha mereka yang bisa marah, memiliki ruang untuk menampung dan memiliki keberanian untuk meluntahkannya. Sekedar mengekpresikkan kemarahan. Jika aku ingin meluntahkan , rasany aku berdosa mlibatkan pihak di luar diriku. Jika aku ingin hanya membanting pintu aku tak mau aku melukai perasaan orang sekitar yang kebetulan mendenngarnya (walau terpaksan kadang hal ini yang sering aku lakukan). Jika aku ingin mengadu kepada seorang kawan, aku tak tega menggantungkan ekspektasi terlalu banyak pada mereka. Berharap mereka memiliki waktu luang untuk sekedar menghibur dan…. nihil!
Dan kawan yang baik tiba2 datang….
Aku ingin sekali saja kamu curhat kepadaku, bagiku suatu kehormatan kamu bersedia curhat kepadaku…
Aku makin tak mengerti, bahwa kata-kata semacam ini saja sudah membuatku terharu, dunia berbalik, layar berganti. Pantaskah aku merasakah gerah neraka sedang seorang teman meneteskan ketentraman di saat aku kebingungan harus membuang kemarahan di mana tempatnya. Kata-kata itu sendiri telah menjadi penawar. Kemarahanku hilang, dan aku merasa tidak adil. Bagaimana mungkin kemarahan yang puncak endingnya hanya begini? Ini fatamorgana, kata batinku yang penuh prasangka, ini hanya obat “penenang” yang tidak menyembuhkan tetapi sekedar menunda.
Hasrat “berkonflik”-ku ternyata tak rela melapas rasa marah yang tiba-tiba hilang “pesona” dan “daya”nya. Aku tahu, kawanku yang satu ini tak pernah bisa diajak bicara dari hati ke hati (setidaknya begitu hematku menilai akan komoditi dan jenis kemarahan macam yang barusan aku tanggung dan akan seperti apa kalau aku meluntahkan di depan dia). Tetapi aku sadar, perubahan dari marah yang tak menemukan lokus untuk melampiaskan serta kemarahan karena manyadari bahwa untuk ‘mengeluarkan” saja susahnya minta ampun dengan sederet kata yang cukup terapis itu, tidak akan menghasilkan banyak hal. Hanya tentram lalu…..apa?
Lalu apa apanya?
Aku makin bingung, sebetulnya aku baiknya marah, kesal atau bahagia? Rasa yang bercampur ini lebih tak mudah diurai darai sekedar wajah dalam satu topeng warna. Sebetulnya seandainya aku jadi marah itu..untuk apa? Apa yang aku hasilkan, dan seandainya aku tak marah bukankan aku akan jadi hantu tanpa pesona juga, tak terbaca emosi dan reaksi atas kebiadaban atau kekurangajaran serta komplain yang tak memiliki mekanisme dan memang tak perlu mekanisme?
Sampai “keraguan” dan “ekspresi” karena tak bisa bertindak ekspressif atas kemarahan itu justru autodestruksif/ selfdestruksif, yang menimbulkan luka (fisik) yang kadang harus disembunyikan karena tak cukup punya keberanian memamerkannya (sekedar mata sembab, misalnya).
Saya terkadang iri terhadap mereka yang berani blak-blakan marah, saya iri terhadap mereka yang bisa melampiaskan sejumlah fiksasi dan tindakan afeksi tertentu. Saya tetap manusia yang tak bisa telanjang penuh, bukan lantaran saya menekuni pretense-pretensi atau demi kesopanan tertentu, semua seolah, ketika ingin saya luntahkan, tertahan dan berbelok arah dihajar habis-habisan oleh keraguan dan prasangka-prasangka yang berasal dari dalam diri saya sendiri, sekali lagi…hantu dan terror dari pertanyaan “untuk apa?” dan “buat apa?”, “lalu bagaimana?” terus merapat dalam “keluaran” itu. Semacam sembelit yang kadang ujungnya membawa perasaan bahwa bukan sembelit, hanya …entah apa atau ilusi semata dari mimpi-mimpi heroic atas hasrat marah itu. sebuah perubahan yang drastis, hasrat yang berasal dari hasrat eksplorasi ekspresi dan kekesalan yang tertahan dan menyimpang.
Sekali lagi, ekspektasi profitual moralis, sedang saya angankan, termasuk laba dari kehancuran dan luka dari perasaan yang lama, untuk diambil keuntungan dinamika atau sukur-sukur loncatan tindakan atas pemanfaatan daya marah itu menuju pemenuhan hasrat yang dalam pengandaian saya, mind-set saya, serta konsep dan prinsip yang diartikulasi sedemikian rupa bisa lebih elegen, lebih prestisius, lebih…dan lebih…
Anehnya semua dalam aproksimasi…sukur-sukur!
Hmmm..sukur-sukur!
NB: Kutebar maaf atas penggunaan istilah secara tak karuan