Senin, 16 Januari 2012

Sandal Jepit

Jangan-jangan sebagian besar rakyat negeri ini memendam rasa sayang yang hebat terhadap sandal jepit. Karena itu, sekalipun sandal jenis ini "terlarang" menjadi seragam alas kaki pegawai di berbagai institusi resmi negeri ini serta ia juga "haram" memasuki perkantoran dan beberapa tempat untuk acara resmi, sandal jepit pun, belum apa-apa sudah tereksekusi di depan pintu masuk dengan sebuah kalimat larangan : 'di larang memakai sandal jepit', atau yang 'bersandal jepit di larang masuk!'. Namun saat acara tidak resmi, santai di rumah, sangat mungkin sandal jepit adalah alas kaki paling favorit.

Tersingkirnya sandal jepit dari peredaran formal-elitik di arena publik tak lepas dari pengaruh dan warisan sitem administrasi jaman kolonial. Sebelumnya, melalui cerita lisan atau penggambaran dari cerita dari buku maupun dunia media lain, dahulu raja-raja dan punggawa kerajaan pada jaman nusantara jaya dulu, sandal jepit justru merupakan alas kaki arketipal dari kebudayaan “pemerintahan” di nusantara ini. Sebab selain praktis, sandal jepit memberikan kenyamanan dan “kesegaran” jari-jari kaki si pengguna disamping memberikan perlindungan kepada telapak kaki tentu saja.

Tetapi, nasib sandal jepit di kemudian hari rasanya memang tampak sedikit ironis, ia dicintai banyak orang, namun tak ada yang berani mengungkapkan dan membuktikan “rasa cintanya” secara terus terang di dalam kerumunan. Di instansi-instansi, peraturannya seringkali meminggirkan bahkan menolak kehadiran sandal jepit. Belum acara semi formal di dalam keluarga atau acar informal lain yang seolah mempersekusi si pemakai sandal jepit. Sehingga kerap kali dibutuhkan suatu kenekadan atau keberanian memakai sandal jepit dengan pede dalam kerumunan dan acara semi formal, kunjungan ke perhelatan, masuk instansi atau sekedar kongkow ditempat umum yang direkayasa keumumannya.

Karena cinta yang terpendam itulah, mereka lebih memilih untuk “selingkuh” dengan sang sandal. Sekalipun alas kaki resmi yang dipakai sepatu, tak jarang mereka para pekerja, entah yang berkerah putih maupaun kerah biru, entah yang jadi buruh atau CEO perusahaan multinasional, masih juga doyan membawa alas kaki “terlarang” itu untuk sekedar dipakai manakala dalam keadaan santai. Mereka menggunakannya ketika jam istirahat datang. Atau kalau memang peraturan dan atasan tak terlalu ketat mereka masih boleh sekali dua kali memakainya secara berseling dengan sepatu.

Ketergusuran sandal jepit tak hanya berlangsung di kantor-kantor yang terdapat di gedung-gedung tinggi. . Di perkebunan dan ladang, para buruh juga dianjurkan memakai sepatu boot demi kesehatan. Tak kalah, buruh bangunan juga sangat dianjurkan menghindari limbah cor-coran semen dengan memakai alas kaki sebentuk sepatu. Dalam acara keluarga semi resmi atau yang tergelar agak formal, atau perayaan tertentu, adalah semacam pengucilan sosial yang dipaksakan. Mereka yang hanya memakai sandal jepit dianggap tidak atau kurang  menghargai si empunya hajatan, melecehkannnya atau paling banter dicap kampungan. Karena itu nasib sandal jepit seperti namanya, makin terjepit. Ia yang dicintai berjuta rakyat negeri, namun siap yang berani meunjukkan cintanya , ketimbang rasa benci dan “meremehkan” si pemakai.


Di tempat umum seperti mushola, sandal jepit menunjukkan kegagahannya bahwa masih banyak manusia Indonesia yang bergantung padanya. Namun sekali lagi mereka hanya bisa memendam rasa itu. Orang berseliweran melakukan ritual menghadap Tuhan, dan sebelumnya mereka berwudlu, yang dicari pun sandal jepit. Entah bawa sendiri, pinjam kawan, atau nyerobot tanpa permisi dan berterima kasih pada sang empunya sampai-sampai si empunya harus nunggu si “peminjam” itu selesai urusannya di kamar kecil. Betapa telanjang orang yang sudah terdidik dan beradab di hadapan sang sandal jepit, sebagaimana telanjangnya jari-jari si pengguna alas kaki yang satu ini.

Karena itu barangkali sandal jepit selalu tampil dalam kenyentrikan dan menjadi hal tak begitu berlebihan untuk melampiaskan kenakalan bagi generasi tengik yang suka menukar sandal jepit butut mereka dengan sandal jepit yang lebih baru atau mencurinya di suatu masjid. Mereka yang mencuri sandal jenis ini, seringkali bisa mengutarakan rasa bangga ketimbang malunya. Seorang kawan, bahkan merasa bangga membeberkan kenakalan masa anak-anaknya ketika ia berhasil menjadi maling sandal jepit yang kemudian ia gunakan untuk membuat mobil-mobilan hanya dengan bantuan pisau dan tusuk sate bekas.

Maka menjadi tampak cukup aneh manakala ada kasus, yang terjadi sudah setahun baru diperkarakan di meja hijau baru-baru ini, seorang anak remaja kedapatan mencuri sandal jepit yang kebetulan milik seorang polisi menjadi berita yang asik dinikmati ( atau bagi sebagian orang malah membosankan) di seantero nusantara ini . Psikolog dan para pegiat hak-hak anak meneriakkan kekhawatiran masa depan anak yang telah “dicap” oleh palu pengadilan sebagai pencuri. Para pegiat hak asasi manusia, praktisi hukum yang kritis dan masyarakat yang peduli melakukan protes dan melontarkan kemarahannya sebab rasa keadilan yang telah terlukai. Diskusi dan obrolan warung kopi mengenai sandal jepit, juga diam-diam, mampu mereka manfaatkan utu sekedar menambah keakraban, topik cuma-cuma perbincangan antar kawan, atau untuk melampiaskan akumulasi kegelisahan yang sudah lama tertahan.

Tetapi kenapa setiba-tiba itu? Sementara ada suatu kenyataan bahwa menjadi maling sandal jepit adalah suatu "kebanggaan" sendiri. Perwakilan dari jiwa yang nakal dan kere. Tanpa bermaksud permisif terhadap tindakan kriminal kecil-kecilan, dengan mengasihani secara berlebihan bukan tidak menutup kemungkinan si AAL itu makin merasa ia memang telah “dipermalukan” oleh sitem peradilan dan cap negative ketukan sebuah palu. Ia merasa menjadi korban dan menjadi seseorang yang “terhina” hanya karena palu hakim suatu peradilan di sebuah negeri yang selalu haus akan sensasi dan kesamasetaraan hukum hanya tinggal slogan.

Ketimbang memberikan kekhawatiran dan rasa kasihan dan dukungan yang berlebihan pada remaja tersebut, bukankah kita bisa memberi suport santai khas remaja : elu emang salah, akui aja, men! Tetapi elu nggak perlu berkecil hati , ngerasa jadi jagoan juga gapapalah, pupuk kepercayadirian dan suatu saat mampu berucap secara jantan : aku punya rekam jejak keren, mulung sandal jepit saja terseret ke meja hijau, plus dapat sorotan media yang cukup anulah. Kerenlah. Dan mau tahu lawan kasusku? Polisi, man! Aparatus negara yang terkenal begitu anu bukan? Beritaku sudah cukup "meludahi" muka orang-orang gede di istana nun agung di sana….

Di negeri yang pemimpinnya tak punya rasa malu untuk pamer gaya hidup, tas, sepatu, mobil mahal dari uang curian, buat apa rakyatnya, generasinya, ditatar untuk malu pada suatu “cap” dan putusan yang jauh dari orientasi efek jera dan tegaknya keadilan, sekalipun itu legal, kalau orang-orang yang di senayan sana saja tak pernah malu ketika ketahuan menggondol duit negara, tidak malu ketahuan pura-pura sakit, pura-pura pikun, pura-pura jadi korban, pura-pura terancam, pura-pura tidak tahu. Kenapa rakyatnya, remaja pula, dianjur- ajarkan untuk malu, khawatir, panik akan masa depannya, "hanya karena"  pernah dinyatakan terbukti bersalah mencuri sepasang sandal jepit oleh sebuah sistem peradilan yang diragukan kadar keadilannya?

Arsip Blog

Cari Blog Ini