Minggu, 26 Februari 2012

Cinta : Masih Adakah?

Apa masih ada cinta di dunia di mana manusia tumbuh menjadi kanak-kanak dan sibuk berperilaku agar selalu mendapat dan mencari perhatian dari orang lain dan para pemimpinannya semakin manja dan sibuk mencari perhatian lewat akrobat dan pencitraan? Lalu penindasan menjadi suatu hal yang lumrah atau lebih parah dipercayai sebagai keniscayaan dan…nasib?

Jika setiap spesies yang satu ini selalu saja ingin medapatkan perhatian, lalu kapan mereka memiliki waktu untuk memperhatiakn sesama?

Gadis yang kehilangan paspor dialektis di tempat asing itu sudah menemukan paspornya kembali , namun barangkali dalam arti dialektika rekayasa. Dialektika yang bisa berjalan dengan bahan bakar bersubsidi dan meludahi pertamax, bukan lantaran tak suka melainkan karena ia merindukan tingkah “mampu membeli memakai partamax” tanpa banyak mengeluarkan bea karena tak mau bekerja lebih keras menuju pencapaian kepuasaan berkendaraan yang terangkum dalam segenggam gedgat yang memiliki tombol-tombol otomatis nan efektif. Ia tahu perasaan itu palsu dan satu-satunya cara adalah memeliharanya. Terus-terusan.

Suatu jenis operasi ‘anjing’ pengkondisian Povlov. Hasrat, harapan dan impian sudah bisa diselesaikan dengan denting lonceng. Kapan diterbitkan dengan mensimulasikan rangsangan terus-terusan , kemudian ditahan dan dienyahkan. Perasaan tak penting lagi. Spontanitas hanya milik orang naïf. Atau lebih tepatnya perasaan adalah soal gampang. Toh dunia perselingkuhan (ideology, prinsip, cita-cita, tujuan hidup) sudah menemukan orang tua dan rumah yang nyaman untuk tumbuh dan tinggal; rasionalisme dan pragmatism; dengan walinya adalah kapitalisme dan borjuasi jadi bapak baptisnya. Namun sesungguhnya mereka diadopsi agar tak menghalangi. Mereka diadopsi lanataran mereka bisa diambil alih kendalinya. Ditundukkan visi anak-anaknya. Domestivikasi pembangkangan agar terbentuk kepatuhan seindah ajaran sekolah.

Setiawan hanya menjadi nama seseorang. Entah itu warisan atau nama depan. Namun setiawan tak akan membawa ideology apapun sebagaimana bapaknya dulu menamai Setiawan dengan “misi” kesetiaan yang besar untuk memenuhi peran kehidupna yang tercipta dari suatu nilai yang terselip dari idealita. Lagi pula untuk apa setia terhadap prinsip jika relativitas terus membantainya?

“Malam minggu menengak pil ekstasi di sebuah kleb dugem. Mabuk dan goyang sampai pening dengan baju yang sangat minim. Minggu pagi kita rapi dengan busana yang sangat santri. Sore-sore kita kampanye anti korupsi ataupun narkotika. Malamnya , hanya terpaut beberapa gang kita sudah kembali jadi drakula.”

Patuh pada mimpi? Sejauh impian sejalan dengan sistem yang telah ada. Merubah adalah ajeksi yang tak mungkin tertolong dalam arti mencipta atau merubah sistem itu sendiri. Merubah terduksi setara masalah rambut gondrong yang bisa diselesaikan oleh tukang cukur ataupun salon pangkas rambut. Jadi hanya soal tampilan saja. Dan lagi pula di jaman ketika rahasia tak menemukan keindahan apa-apa. Kehidupan sudah jadi sirkus dan tontonan. Hati dan jiwa rupawan hanya tinggal dongeng dan mungkin juga bejibun namun toh dunia sudah tak acuh dan menggilas mereka dan kertas-kertas enggan menjadi sandaran kata dari ekspresi kebenaran. Lirik lagu liris bungkam lantaran tak mampu membayar pemusik ataupun membeli alat musik itu sendiri. Kehidupan dengan kemandirian dan bergelimang “persetan dengan orang lain” bukan dalam menentukan patokan dan acuan, namun dalam koridor ketakpedulian.

Dan di antara ketidaktahuan itu, kebingungan itu, kesemrawutan dan ketakmenentuan batin kita yang terus dicekik kehampaan, ekstase, lalu kembali tunak tak mampu terdeteksi, bisakah kita merasakan keterhubungan itu, atau paling tidak masih mampukah kita menipu diri kita, bahwa sesungguhnya kita terjalin, terhubung dengan sesama?

Kita terpanggil, kita peduli dan kita memiliki cinta untuk sesama? Ah, apa iya atas nama cinta dan bukannya kepentingan? Semua ternyata hanya urusan selera. Ketika kau jatuh cinta pada suatu nilai segar dalam nalar dan rupa muka paling gampang terbaca. Kita memegang prinsip, kita mengibarkan ideology. Kita memampang plang mimpi di dinding kamar. Semuanya berbaur dalam ketaksadaaran yang lebih tingggi. Dan itulah yang orang lain miliki dari kita. Si objek yang merasa hadir dan terlahir dengan sejuta harapan. Kita ingin tampak lebih benar dan lebih tegar. Lebih beda dan lebih peduli. Setia dan lebih manusiawi. Namun semua dalam rangka agar “dunia” entah dunia yang bersembunyi atau dunia yang terang-terangan berarak di garis lebar, memperhatikan diri kita sendiri yang kita ukur terlalu tinggi. Berikan perhatian pada mereka yang memang selalu kekurangan perhatian. Dan perhatikan aku yang tak peduli pada perhatian. Apa bedanya pada akhirnya?

Kita yang memilih mimipi itu, atau mimpi itu adalah jalan pelarian dari serangkaian kegagalan?

Paspor itu justru digenggam dengan gamang, jika dulu ia kehilangan, mungkin itu lebih baik, karena perasaan jauh lebih memberi pertanda bahwa hidup mampu kita alami dan rasai. Kalaupun ia kini menggenggam itu juga hanya soal kapan ia bisa memilih tetangga, teman dan kapan jatuh cinta dalam balutan pengkondisian yang memiliki tengat waktu dan tanggal kadalwarsa begitu sementara. Tetapi seandanya ia menggenggam paspor itu untuk berpelesir dan menipu diri, ia memang hanya seonggok daging yang takut tersangkut pada kepedihan berinteraksi dalam selubung getar hati tanpa itung-itung untung rugi. Kemungkin kita tak perlu paspor, juga tak usah takut merasa asing, terusir dan tak diakui. Kita tidak ingin patuh terhadap standar itu, kita justru ingin punya standar sendiri.

Di tanah utopian, barangkali hanya akan terbit cinta dari dua orang yang kecanduan sosialisme tanpa harus kehilangan paspor dialektis. Lalu apa romantisnya? Liriklah sosialisme varian Charles Fourier. Bukankah sosialiisme hanyalah sejenis romantisme yang over dosis?

Arsip Blog

Cari Blog Ini