Minggu, 25 Oktober 2009

FIlm itu...


3 Cinta 3 Do’a

Ini termasuk katagori film tahun lalu. Tapi aku baru menontonnya sekitar 1 bulan yang lalu ini. Film yang menceritakan lika-liku kehidupan 3 santri yang memiliki harapan/doa berbeda serta beberapa romansa kehidupan pondok pesantren tradisional tampak real dan mewakili sisi kehidupan pesantren. Genjringan/terbangan/rebanahan, sholawatan, pinjam meminjam baju. Plus keluar pondok pada malam hari untuk sekedar ngopi atau jajan di warung, meiril, dan sandal jepit. Dihukum nimba air, atau sholawatan sambil berdiri. Bayangkan kalau saja ini di India. Bakal banyak film yang serupa/ satu tema muncul bersamaan. Tak heran kita lebih kenal nama2 Raj, Kiran, Sunil, Suraj atau paling popular Tuan Takrur. Kita juga ngerti mahendi, tradisi memakaikan rakhe, ataupun. Kalimat2 “Inspektur!”. “keberatan yang mulia!” dll. Kita punya budaya pesantren dengan romantikanya yang beragam tapi kok ya jarang banget yang mengangkat tema itu. Kita punya banyak ragam budaya. Tidak hanya dunia pesantren. Dunia karang taruna misalnya. Dunia arisan di desa. Dunia pasar tradisional. Dunia angkutan umum dan bis kota( maksudnya seputar romansa kernet dan supir dan penumpangnya, sejauh ini yang saya tahu baru ada 'Ramadan Dan Ramona). Romansa pengemis dan pengamen Sementara dunia klenik seputar pocong dan kuntilanak direpetisi terus menerus. Hingga membuat kita bosan dan mual.
Kembali ke 3 Doa 3 cinta…..hakim mengajak para alumnus santri untuk bernostalgia bersama bagi mereka yang akrab dengan dunia pesantren itu akan pasti akrab dengan cara2 santri ataupun pak kyai meletakkan dan menyimpan uang. Dipeci, di gulung diikat pake gelang karet. Atau merokok satu batang beramai-ramai. Makan di warung desa. Kabur di tengah malam. Dihukum menimba air atau mengisi kulah. Nggak boleh membawa barang2 elektronik semisal radio dan handphone( untuk jaman sekarang .tetapi tentu saja ini hanya tertentu karena sekarang saja sudah bermunculan kisah anekdotal seperti :kyai sekarang bukan lagi tasbeh yang dipegang buat wiridan melainkan handphone) . atau lihatlah percakapan ironis antara Syahid dan Ryan ketika mereka berebut gelombang siaran radio dan hampir saja kepergok kakang2 (semacam Lurah pondok) yang sedang berpatroli.
“ Dari dulu peraturannya kok sama, kapan majunya”. Kita tahu komentar2 yang satu nada dengan Ryan kadangkala malah dilontarkan oleh mereka yang malah tidak memaksimalkan sebuah fasilitas alat teknologi dengan baik( sekedar mendengarkan dangdutan adalah hiburan). Sebuah alasan yang logis untuk membenarkan tindakan yang cenderung /dalam rangka bersenang2. seductive.
“mau pinter? Baca buku.” Jawab Syahid yang notebene memanfaatkan siaran radio untuk mendengarkan berita.
Kita yang terbiasa dengan cara pandang dikhotomis, oposisi binner, hitam-putih selalu beranggapan bahwa tidak memakai berarti menolak.
Memilih untuk tidak memegang hp, tidak memiliki televisi, tidak memakai kendaraan pribadi bukan berarti menolak teknologi. Dan memilih memiliki computer, berlangganan koneksi internet, memakai celana jins juga belum tentu akan berarti lebih maju dari mereka yang masih bersarung dan memakai rok longgar. Maju dan tidaknya peradaban seseorang bukan bergantung pada kuantitas seberapa banyak mereka miliki dan menggunakan high tech . Tapi seberapa dalam manfaat yang mampu mereka raih dari teknologi2 itu bagi kemanusiaan. Bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain dan masyarakat sehingga mampu menjadi penyokong setitik konsep agung rohmatan lil’alamin.
Akhirul kalam, 3 Do’a 3 cinta cukup mengusik benak saya untuk menulis diblog ini ( wew, apa hubungannya?).

Arsip Blog

Cari Blog Ini