Dan Lelaki Itu….Masih Mendorong Gerobagnya…
Ia tergolong tidak tampan, tapi ia memiliki kriteria muka yang manis dan kalem. Ia laki2 pendiam, tetapi tidak muram. Ia tidak tinggi dan ia cukup kurus. Ia berkulit hitam tetapi bersih.
Lelaki kalem itu….adalah wajah yang pernah aku kenal beberapa tahun yang silam. Wajah yang berhias senyum tipis, tidak seperti kumisnya. 8 tahun yang lalu, aku menaksir umurnya berkisar 22-23 tahun. Tetapi saat tadi pagi dia melintas dihadapanku dengan gerobag dagangannya yang tak jauh berbeda tampilannya 8 tahun silam. Gerobag dan pendorongnya. Mungkin umurnya sekarang sudah 30an lebih. Tetapi ya Tuhan, senyum itu, wajah itu, kumis itu, gerobag itu, dan dagangan itu…tak jauh berbeda dengan saat aku masih duduk di bangku sekolah menengah atas….
Kau, lelaki dengan sorot mata dan raut muka yang sama, barangkali tak mengenalku. Tetapi aku masih mengingatmu…juga diammu. Diamnya orang2 yang bikin aku penasaran apa sejatinya yang terlintas dikepalamu tentang kehidupan. Apa pendapatmu tentang nasib, takdir dan keadilan.
Memikirkan itu semua, aku merasa terlalu lancang memberi iba. Apakah aku layak beriba, sedangkan tiap hari aku tak mengerti apa yang sejatinya harus aku lakukan?
Barangkali, logika diluar sana, ada yang menganga, mencibirku
“Kamulah yang sejatinya pantas dikasihani” “orang2 yang merasa memikirkan terlalu banyak hal, orang2 yang merasa pantas memberi iba hanya karena dia bisa menyaksikan kehidupan normal orang lain sebagai keterpurukan dan nasib sial”.
Terkutukkah mereka yang merasa lebih baik hidupnya….dengan membandingkan nasib orang lain….
Iya?!!!!
