Jangan ragu. Ungkapkan saja kebencianmu padaku. Aku akan menampungnya dengan baik. Jangan ragu untuk menghujaniku dengan kata-kata paling pahit dan menyedakkan. Aku tak akan tidak terima. Aku sudah diajari untuk mendengarkan dan bertahan. Ayolah, kawan. Sekedar mendengarkan dan diam-diam tak terima itu juga aku sudah biasa. Jangan pernah berpikir aku orang yang berlaga di batu karang pujian. Aku, jelek-jelek begini, juga pernah mampir ke telaga yang airnya bening. Menatap bayangan rupaku yang pantas aku renungkan. Mungkin setelahnya kau pikir aku menuju bengkel. Mendandani beberapa konstruksi yang lekat pada diriku yang salah. Untuk perbaikan, ya. Tetapi tidak ke bengkel. Aku harus terus meneruskan perjalanan. Menempa jiwa. Belajar alkemis jiwa. Tidak untuk menyepuh emas atau logam tetapi sedikit demi sedikit merangkai kata dan menggerakkan tarian. Tarian yang memubuat bulan sebentar-bentar di makan awan hitam.
Aku juga ingin berdiri di sana. Di batu tempatmu menuliskan rindu dan meniupkan satu dua lagu dalam nada pembuluh yang menjerit karena jarak membengkak, detak waktu membeku.
Kau pikir setelah salam perpisahan aku akan membuang ingatanku tentangmu kelautan? Itu terlalu sayang.