Nggak Ada Loe, Tetep Rame
Tidak tahu kenapa tiap orang yang merasa kenal dengan saya suka “menuduh” kalau saya ini makhluk tak pernah susah. Bawaannya gembira mulu. Sementara mereka yang belum kenal dan belum pernah bertegur sapa mendapatkan kesan kalau saya serius dan garang. Saya maklum, karena saya jarang duluan menyapa teman yang belum saya kenal. Sementara sesudah kenal saya malah seperti malah bisa ngoceh sana-sini tanpa berhenti.
Terkadang seorang kawan baru yang tidak tahan dengan saya akan sesegera mungkin meninggalkan saya. Sejujurnya sih kehilangan teman itu ya, sayang. Tetapi toh saya tak mau rebut-ribut mengundang mereka masuk dalam hidup saya buat apa saya cegah jika memang mereka tak mau berkawan lagi. Saya sering menghindari mengetuk pintu persahabatan lebih dulu. Tetapi saya punya hukum yang berlaku untuk saya sendiri, yakni haram hukumnya menampik ajakan persahabatan. Urusan mereka mau menyudahinya lebih awal alias tak mau bersahabat lagi, sama sekali tak saya masukkan dalam hitungan.
“Maaf, selama ini saya sudah mengganggumu, terima kasih atas waktunya.”
Kalimat putus asa seperti di atas, sering saya dapatkan. Biasanya karena kurang segera tanggap terhadap es em es, telepon atau mungkin yang lainnya yang kadang luput dari perhatian saya.
Saya tak pernah merengek atau mempertanyakan. Mau marah dan pergi dari hidup saya?
Oh, silahkan.
Tetapi tak jarang beberapa hari kemudian mereka “balik” dengan basa-basi yang diperbaharui. Tidak laki-laki tidak perempuan.
Pernah berpikir bahwa saya dimanfaatkan dan diperlukan kalau mereka perlu saja?
Pernah dong!
Bahkan ada teman yang terang-terangan bilang, “terima kasih, kamu selalu ada di saat aku membutuhkan.”
Sejujurnya saya tak tahu harus bangga, bersedih atau berterima kasih karena saya ada gunanya juga bagi mereka, walau cuma penghibur atau penggenap saja barangkali.
Dianggap jadi sahabat ketika memang diperlukan?
Bukankan saya juga mungkin bersikap sama, buat apa saya protes. Dan toh saya memiliki teman terbaik yang tidak memperlakukan saya dalam garis fungsionalisme saja.
Selalu ada yang bertanya.
“Lama banget tak kirim kabar, Bos. Sudah lama kita tak ber-es em es panjang lebar.”
Atau “Kenapa ente menghilang neh, udah tiga hari gak ada kabar?”
Atau, “Jangan kelamaan, dong semedinya, aku mau ngobrol banyak neh”.
Dan untuk kawan-kawan yang begitu baik dan mau bertahan bersahabat dengan saya, saya kirimkan terima kasih tak terkira.
Karena sudah tahu sifaf ndableg saya, kadang akhirnya cuma saling bertukar kabar.
“Selamat sore, dan selamat apa aja!’
Es esm es macam ginian pun sering saya tiru gayanya. Sebuah sapaan yang tidak menuntut sapaan balik.
Seorang kawan pernah main todong “Siapa sahabat baik kamu?”
Saya langsung saja main tunjuk juga ke nama seorang kawan. Dan teman saya, ketika tahu jawaban teman yang saya anggap terbaik mendapatkan jawaban bahwa saya bukan yang terbaik bagi dia. Dia bilang, kasihan!
Otak kamu kali yang harus dikasihani, pikir saya. Lha, wong saya nggak pernah mentargetkan kalau sahabat terbaik saya itu manganggap saya sebagai sahabat terbaik dia pula.
Kamu belum tentu jadi sahabat (baik) bagi seseorang yang kamu anggap sebagai sahabat (baik) kamu. Tidak harus berlaku hubungan relasi satu-satu dalam persahabatan.
Kita, tentu saja sudah belajar sederet konsepsi sahabat sejati, jatuh bangun mencari dan menemukan falsafah persahabatan dan mengumpatlaknat pada pahitnya pengkhiantan dan ketakpedulian. Sejalan dengan itu, kita juga belajar menikmati indah dan nikmatnya bersahabat dan saling sapa.
Kenapa kita sering menafikan yang kedua?
Jika anda meminum kopi yang pahit sekalipun, anda tak bisa mengingkari bahwa kopi itu nikmat karena anda adalah pecandu dan penikmat kopi.
Selamat Pagi!