Srikandi Mencari Cinta
Abnormalitas yang normal itu diwakili sebuah nama, Srikandi. Ia, dalam tafsir saya adalah gadis bengal. Nakal. Ia, dalam imajinasi saya, adalah ambiguitas yang normal. Betap tidak. Versi kewanduannya adalah versi mengunngkap sebuah fakta yang memang ada, namun enggan. Mengusik namun segan. Dan ia popular, bahkan lebih popular daripada kakaknya yang normal dan berkedudukan. Ia bukan saja wajah dari dendam seorang dewi Amba yang ditolak Bisma, lebih dari itu, ia adalah pencinta yang aktif. Ia tergila-gila pada Arjuna dan ia berusaha. Adakah yang salah dengan usaha seorang srikandi yang perempuan untuk mendapatkan cinta pujaan hatinya. Ia lugu, karena iatu ia tidak seperti perempuan lain, yang bersikap dan bersolek amat manis demi sebuah gengsi epindemi purba, ingin dirayu lelaki dan dikejar-kejar. Munafik dan menggoda. Srikandi, dalam logika patriakhi, adalah antagonisme. Tetapi jujur saja, kita sering memuja wanita hanya karena pencapaian-pencapaian yang maskulin. Memanah, berperang, terjun dalam dunia politik dan lain sejenisnya. Tetapi tidak dalam urusan asasi macam melahirkan, menyediakan makan, dan mungkin bercinta. Wanita tetap dijadikan objek. Yang dikejar.
Maka tidak heran, saat menemui gadis berkarakter Srikandi, justeru sering tertolak cintanya. Hanya karena Ia mengejar juga. Ia tidak berpura-pura agar dikejar. Apa bedanya mengejar dengan memasang kondisi sedemikan rupa untuk dikejar. Yang satu lugu. Yang satu pura-pura tak kemayu, munafik dan penuh perangkap. Atau…hanya sebuah trik wajar dalam permainan cinta-cintaan?
Barangkali, di luar urusan cintapun, kita dalam dunia nyata sering menolak ataupun tidak bisa menerima begitu saja sifat senantiasa menolak kesrikandian. Yang berani, yang apa adanya, yang minor, yang tanpa basa basi.
Sementara dalam setiap wacana kita menuliskan dan membicarakan watak kesrikandian dengan puja dan puji disana sini, layaknya tulisan ini.
[tanpa tawa]
