Jalanan sudah lengang. Sorot lampu jalan masih nyalang. Kabut abu menyebar tebal. Status facebook teman-teman pun berseliweran membincangkan seputar letusan sebuah gunung. Aku dalam perjalanan pulang sehabis menjenguk famili yang terbaring di rumah sakit.
Ketika malam telah merayap ke pagi. Aku hendak nongkrongin desktop, urung. Kantuk membawaku pada pada alam mimpi. Hanya berselang dua jam tidurku, alarm sudah meraung-raung di sana- sini. Berat mata ku buka. Dingin melumur sekujur.
Aku takut kehilangan pagi seperti sebelumnya, maka aku paksa untuk merayap. Menghempaskan rasa kentuk dan meilih diam terjaga. Lalu menyalakan komputer dan menengok hape ( weleh! Kebiasaan jelek kok diumbar), membalas atau mengirim sandek ke kawan ( kami sengaja menamainya sandek plasma, mengajak bangun atau begadang antar teman ).
Tetapi suara tadarus di musholla terdekat tiba-tiba berhenti dan mengabarkan berita kematian.
Mati. Satu kata itu lagi, mati. Saru kata yang sudah tak membuat kita khidmat mendengarnya, kecuali jika itu terjadi secara massal atau pada orang tercinta kita.
Sehabis subuh, ketika hendak aku tuntaskan tongkronganku. Aku dicegat ibuku agar ikut melayat.
Sepagi itu, para pelayat dari sanak atau tetangga dekat sudah berkerumun dan berseliweran. Mereka tentu memilih waktu pagi dengan harapan aktifitas sehari-hari tetap berjalan.
Di antara sembab mata dan tangis sanak saudara yang ditinggal pergi, jabatan bela sungkawa serta pelukan simpati datang pada mereka. Dan pada saat keluar dari pintu rumah berduka itu, wajah yang tadi sayu dan begitu terharu kembali cengengesan dan bergosip ria.
Tak ada yang salah dengan pemandangan itu. Tak ada sama sekali.
Dan kematian pun semakin akrab, kata sajak Subagio Sastrowardoyo.
Memang.