Senin, 11 Oktober 2010

Kematian Yang Keren!


Terbunuh dan mati muda. Itulah cara mati khas para pejuang yang selalu dikenang oleh para pemuja kepejuangan pada generasi berikut. Seolah, tanpa darah perlawanan kurang sah.
Che Guevara lebih tenar disbanding Fidel Castro karena ia dieksekusi mati oleh rezim yang ditentangnya pada usia yang relative muda. JFK tenar dan dipuja oleh generasi mudan karena selain (mungkin tampan) muda karena ia mati secara heroik. Ditembak.
Dan tontonlah film Marcopolo, maka akan ada adegan Khubilai Khan ngotot ingin pergi ke medan laga padahal ia sudah sangat renta. Namun ia merasa “ akan sangat malu jika mati bukan dalam pertempuran”.

Che pun memiliki celetuk romantik-heroik, “alangkah senangnya mati di pantai asing demi sebuah ide yang mulia”. Bagi pribadi2 penuh perjuangan, kematian dalam kesendirian atau mungkin terasing seperti yang dipilih Soe Hok Gie, lebih baik dibanding menyerah kepada kemunafikan.
Dan kita pun akan tahu dan berdecak ketika menyaksikan film Agora. Adalah Hypetia, wanita yang berprofesi sebagai guru dan menjadi korban persekongkolan antara agama pendatang, yakni pada masa agama nasrani berkembang di Mesir sana, dan pemerintahan. Ia, guru sekaligus pecandu ilmu, rela mati dalam rajam. Tetapi mantan budaknya yang muda dan jatuh hati, yang a memilih memeluk agama baru itu, membekap dan membunuhnya lebih dulu. Sebelum para perajam, yang merasa benar dengan keyakinan dan agamanya, melempari ia dengan batu. Adegan ini tak jauh beda dengan kematian Sokrates yang memilih meminum racun daripada berhenti menyebarkan apa yang ia yakini sebagai kebenaran.


Dan tentu saja deret nama dari martir ilmu pengetahuan, pembela hak asasi manusia, pejuang hak kaum marjinal yang rela mati dan menyerahkan nyawa demi perjuangan dan keyakinan mereka, masih panjang.

Kita mungkin tak mampu meniru, tetapi apa salahnya kita mencoba meneladani setitik dari kolam keberanian mereka.

Arsip Blog

Cari Blog Ini