Sabtu, 09 Oktober 2010

Romansa angkot dan bis kota adalah wajah dan suara sebagian bangsa kita. Agaknya tuan-tuan yang duduk di kursi dewan sudah layak meneliti dan mematai-matai suara dan wajah rakyat di situ, di bus kota dan angkutan umum. Agar kebijakan dan langkah yang diambil memang kebijakan yang emansipasif serta tidak menjadi bahan tertawaan dari anak es em a sampai rakyat jelata tak berpendidikan pun paham komedi dan hal-hal komikal berlangsung di sana.

(Daripada meneliti terlalu serius dengan objek dan sample yang telah dikondisikan dengan konklusi dan hasil yang sudah jadi lebih awal sebelum penelitian itu dilakukan)

Cerita ini saya peroleh dari dua teman saya saat asik nguping di angkutan kota. Seorang bapak, menurut dua temanku, yang menurut pengakuan beliau sendiri tak memakai sepeda motor atau mobil jika bepergian karena memang tidak memiliki keduanya. Tetapi dia merasa bersyukur karena untuk makan sehari-hari dan membiayai anak-anak beliau bersekolah juga lebih dari cukup, memilih menolak beras miskin (raskin) dan mengajukannya untuk tetangga lain yang kondisinya siapapun akan sepakat kalau tetangga itu layak untuk menerima jatah raskin lebih banyak dibanding yang lain. Yang sering membuat dia geram adalah tetangga yang lain yang bisa dibilang sudah menjadi saudagar dan memiliki mobil untuk kulak dan ngangkut dagangan. Masih mau dan menuntut juga kalau tidak dijatah raskin.

Kegundahan bapak itu adalah kegundahan khas rakyat kebanyakan. Tetapi kegundahan bapak itu juga dibarengi dengan sebuah aksi. Memberikan jatah raskinnya untuk tetangga yang lebih memerlukan.

Bagaimana dengan kita?

Satu kalimat yang sesungguhnya keluar lebih mirip seperti igauan daripada pertanyaan. Tanya yang hanya membikin kita tersipu dan membuang pandang antar kita.

Arsip Blog

Cari Blog Ini