Senin, 21 Maret 2011

1

"Apa kau pernah memendam perasaan?" tanya temanku suatu waktu.
"Sering."
"Bagaimana kau melewati dan mengatasinya?"
"Setiap aku mengalaminya, penyelesaiannya berbeda-beda."
"Bagaimana dengan menangis?"
"Jika nangis membuatmu lebih ringan, menangislah. Tetapi jika tangis membuat kubangan yang makin memenjarakan, sebaiknya jangan."


2

"Apa kau pernah tergoda untuk bunuh diri?" tanyaku pada seorang teman.
"Maksudmu?"
"Pernah terlintas melakukan bunuh diri, tidak?"
"Ah, jangan sampai. Ngeri. Kamu jangan ikut-ikutan dong! Gila sedikit gak papa, tetapi jangan berharap setiap orang terbuka terhadap kegilaanmu."
"Tetapi yakinkan aku bahwa kamu baru saja tidak memikirkannya?!"
Temanku hanya menjawab dengan tawa.


3

Dulu aku tersenyum bangga ketika seorang teman menganggap aku adalah orang tersinting yang pernah dia kenal. Dan tersenyum meremehkan pada temanku yang cemas kalau aku bisa gila beneran.
Tetapi akhir-akhir ini aku khawatir tiap kepalaku berceletuk pada diri “kamu gila!”


4

Bahkan kebencian yang sudah kita banggakan kadangkala tidak berarti apa-apa. Termasuk kebencian terhadap mereka yang ‘tidak mau tahu’.



5

Hal terburuk itu bukan ketika kau merasa bahwa tak ada orang yang mengerti dan mau mengerti tentang dirimu, tetapi ketika engkau tak mengerti apa maumu dan memaksa oranglain untuk memahami dan mengerti kamu.

6

Narsisi manusiawi paling asasi bagi saya adalah "ingin dimengerti", tetapi Ada Band mereduksinya dengan menambahkan awalan "karena wanita".

7

"Kenapa kau suka kopi pahit?"
"Agar aku bisa lebih menghargai yang manis."



8

Kita memang butuh ruang untuk menghempaskan "sesak" kita lewat ekspresi, sekalipun itu hanya jeritan pendek, ketukan jari di meja atau sekedar menulis satu huruf. Atau mungkin juga segaris cakrawala asimtotik. Atau malahan hanya sebuah titik.


9

Aku tahu setiap orang lebih memilih menghantui dibanding menjadi yang dihantui, tetapi mereka tak sadar ketika menjadi "hantu" ia siap ‘tak ada’ apalagi "hadir", tak mampu menjadi siapa-siapa dalam kerumunan dan hanya bisa membayangi orang perorang dan sekaligus memiliki wajah yang tidak nyaman.


10

Ketika saya sedang meneguk air putih di depan trotoar, seorang ibu lengkap dengan anak dan suaminya cekikikan dan berguman “sirup, hi hi hi”
Saya tak bisa menahan senyum saya sembari membatin: “ Ayolah, kalian memiliki potongan segerombol bebek yang tiap keluar rumah pada hari Minggu dalam kepala membawa tabel gastronomi sebagai kitab suci.”



11

Ya, saya memang sinis terhadap mereka yang tiap kali keluar rumah dengan dalih jalan-jalan atau refreshing sesungguhnya hanya menuntaskan kerinduan lidah pada makanan.

Mungkin seseorang bisa beralasan "hanya makan di warteg kok", "cuma makan di warung tenda" atau sejenisnya. Aku rasa masih banyak mereka yang tiap kali mengantar seorang nyonya tambun menikmati empat kali lipat upahnnya(seorang tukang becak) dalam sekejap hanya bisa menjadi saksi dengan mengecap nasi kucing atau makan rames angkringan untuk makan malam.


12

Potret para pahlawan kemerdekaan dan pahlawan pergerakan memang sudah terlalu buram untuk dikenang generasi sekarang, satu album yang masih cukup segar dipampang ialah potret pahlawan devisa itu. Mari bersulang Lola Amaria, untuk kesehatan kemanusaian!


13

Tentang mati, aku berharap bisa memikirkannya lebih damai dari pada kegilaan yang membenak tiap detak ini. Bukankah kadang tulang belulang dan tubuh yang mendebu lebih rilis daripada kegelisahan yang tak bisa kita genggam tanduknya. Ketika apa yang disebut sebagai bersama adalah sebuah kebiasaan untuk mendesak dan merugikan orang banyak. Mungkin di sini aku tak melihat wajah membusuk dan kaku tubuh yang meregangkan nyawa, tetapi lihat, sama seperti diriku, jiwa-jiwa yang saling berkirim sinyal kematian dini dan berbagi liur hidup yang sudah kadalwarsa begitu kuat merangsak.

Arsip Blog

Cari Blog Ini