Sabtu, 02 April 2011

Seringkali aku ingin menjadi kita, maka izinkan saja. Biar itu hanya sebuah racau atas nama. Terwakili atau tidak. Memuakkan, itu jelas! Mohon maaf, kadung. Bablas!


Kebenaran adalah jerit kerinduan setiap manusia namun permainan bagi segelintir orang, kata si empiris Berkeley.

Saya ragu bahwa kesedihan saya dalah karena saya gagal merindukan kebenaran. Dan saya sangsi jika saya ‘tercabik’ dalam kebimbangan adalah karena saya dalam pencarian dan menjerit merindukan kebanaran.

Hidup adalah perjalanan mengada dan sekaligus menempuh diri.
Salah satu “alasan” Tuhan menciptakan manusia adalah Ia ingin dikenal. Sabda dalam hadis kudsinya,” Aku adalah Khazanah Yang Tersembunyi, Aku ciptakan manusia agar Aku dikenal”.
Sifat Tuhan yang ingin dikenal ini menurun pada manusia. Mengapa manusia ingin dikenal? Dan oleh siapa manusia ingin dikenal.
Ingin dikenal oleh diri. Ini biasa kita sebut ‘mencari jati diri”. Kita mengandaikan bahwa ada sesuatau yang sejati dari diri kita. Diri yang sebenarnya. Apa dan siapa itu diri sejati? Jati diri itu?

Biarlah pertanyaan itu terus berkumandang tanpa harus memiliki jawaban yang pasti.
Mungkin pada akhirnya akan bersatu dan sampai dalam tujuan (sadar atau tidak) dengan sabda “barangsiapa mengenali dirinya maka ia kan mengenali Tuhannya”.
Semoga.

Dikenal oleh orang lain?
Itulah bermulanya aktualisasi. Tahukah engkau, kini hierarki kebutuhan manusia a la Abraham Maslow sudah tak relevan lagi?
Karena dia memasukkan aktualisasi sebagi kebutuhan elitis. Sedang sekarang, melalui alat komunikasi yang cangggih, aplikasi yang super mudah dan adiktive, orang rela tak makan dan ngutang demi di-recognize keberadaannya, atau orang rela ngutang untuk makan yang memiliki gaya, di restaurant misalnya atau makan makanan yang sesunggugnya tak terjangkau dompet dan pendapatan. Kebutuhan sekunder dikudeta oleh kebutuhan tersier.
Maka setengah abad yang lalu Kundera mengumandangkan imagologi yang suatu ketika akan mendepak ideology sebagai komoditi cultural (material juga deh kayaknya) dari singgasana “suci”.
Manusia pun ingin dikenal melalu produksi makna, symbol, kultur, seni, arsitektur dan masih banyak lagi.

Kita, manusia yang harus mengencangkan ikat pinggang. Kita, manusia yang entah karena gairah liar menepi ke garis yang cenderung kiri ( psikoanalisalah diri! mungkin kita cuma ingin disebut keren saja, atau memang hal itu sudah menjadi jeritan kolektive atas teror kapitalisme dan konsumerisme yang mengerikan. Eh, atau jangan-jangan cuma karena kita belum berkesempatan jadi penguasa (pasar maupun kekuasaan politik) saja, lalu iri dan rajin mengumpati mereka (yang kapitalis dan borjuis) sebagaimana asal mula borjuasi itu), setidaknya merapatkan barisan dan jangan sampai putus hubungan dengan “diri”/kemanusiaan.
Kekenduran dengan diri ( =kemanusiawian) sering membikin kita begitu lama terdampar di pantai kenihilan atau memilih menyambut godaan kenikmatan sorga yang tiketnya kita dapat melalui pemerkosaan terhadap sesama atat kita dapat dengan cuma-cuma (dengan suka rela kita melemparkan diri ke "neraka" cinta diri, mengejar kesenangan bertubi dan berpesta api manipulasi).

Arsip Blog

Cari Blog Ini