Senin, 18 Juli 2011

Intim Dalam Diam

Intim Dalam Diam

Kita memang terlalu banyak bicara. Maka sebaiknya kita berpisah dalam arti metafora. Kerana antara kita justeru mampu saling sayang dalam diam. Aku sudah meyakini itu. Urusan kau mengucilkan aku, aku tak pernah merasa terkucil dalam arti yang sebenarnya. Karean aku setidaknya memiliki kiat-kiat hidup terkucil sejak dini. Sejak kecil, sejak bocah, sejak belum tamat taman kanak-kanak. Kau tentu akan lebih senang jika aku tak banyak bicara, bukan?

Ah, aku ingat kamu ketika dalam sepi maupun kerumunan. Ketika dalam kegembiraan puncak maupun kesedihan. Tetapi dengan segala hormat aku tak mau melibatkan semua emosi yang menjijikan, atau membuat kau jijik.
Ya. Aku ingat waktu kau memancingku agar aku merasa sebal dan kamu gagal. Dengar, aku tak tahu benar kau makhluk macam apa luar dalam, jadi aku tak menemukan negativitas dalam dirimu, sekalipun aku sengaja bertindak menyebalkan atau pura-pura tak peduli.

Ringkas bukan? Maka jangn diperrumit-panjangkan. Tak usahlah kau sengaja membuat aku cemburu atau membangkitkan keirianku. Tak perlu. Aku sudah kenyang dan kasihan pada diri yang itu berarti aku juga kasihan padamu. Kau tertatih hanya menyulut kemarahanku. Kau, apa kamu tak menyadarinya? Apa kau tak ingin mencoba membuat aku sedikit nyaman saja? Atau kenyamananku membuat kau tak nyaman? Baiklah kalau begitu aku harus pura-pura tidak nyaman agar kau merasa nyaman, begitu lebih baik? Atau kau makin merasa dilecehkan?

Dengar, sebetulnya dari awal aku tak mau bersitegang apalagi berdebat denganmu, tetapi tetap saja kau merasa rugi bila tak mengusikku. Katakan, aku benar?!


****


Lihat, mereka sedang membuatku merasa sedikit gatal tentunya. Ha ha ha. Aku sama sekali tak akan perduli. Percayalah itu akan membuat aku semakin kuat Bukan kebencian. Tetapi perasaan bahwa aku tak disuakai banyak orang hanya karena memiliki selera yang berbeda.


Kalau aku nyatakan hal sepele ini tentu saja mereka tak mau mengakui. Lagi pula kemasannya buruk dan menyudutkan jadi tak mungkin mereka suka. Mereka itu menyukai sedikit keindahan yang melekat pada diri mereka, jadi kalau hal buruk, sebaiknya jangan diungkapkan dalam kata atau ucapan yang paling telanjang.

Apa? Aku seperti penjual serabi? Ha ha ha. itu komentar terlucu yang pernah aku dengar. Kamu memang lucu dan tak ada yang bisa mengapresiasi kelucuanmu kalau tidak dalam suasana geli. Tetapi aku cukup adaptif.
Ya. Memuji diri sendiri kan boleh. Daripada terlalu lama aku menunggu ada pujian yang keluar dari mulut orang lain padahal aku sudah lama mengagumi kata-kataku tadi.

Tenang saja. Aku bukan penikmat narsisi yang bisa berlam-lama. paling-paling dari relungku juga datang suara tak perima kalau aku sudah kebangeten jatuh dalam jurang atau terbuai dengan pujian dari diri maupun orang.
Satndarlah kebanggaan yang aku rasakan. Manusia juga tak sudak lekas berpuas-puaas toh?

Kalau kau tak meninggalkan jejak bahwa kau pernah menungguku, maka aku juga tak tahu, karena aku bukan si mahatahu. Tetapi ternyata kau cukup pemurah terhadapku sehingga aku tak perlu mengendap-endap mencari-cari jejak tak jelasamu. Tapak yang lekas-lekas itu.

Apa kau menginginkan aku meneruskan kata-kata sialan ini? aha, kau meminta dengan pura-pura berhenti atau pergi. Baiklah ini bukan kisah buruk seandainya kita pernah bersengketa dengan kata-kata. Kerapuhan masing-masing telah kita ukur. Tinggal kuda-kuda terbaik untuk pacuan ini. atau kau memilih mengikatkan sabuk pengaman?

Baiklah, aku beri saran kau pakai gigi tiga, karena medan kita berundak-undak, bahkan kadang banyak tanjakan yang curam. Bersiaplah ini tak ada sangkut pautnya dengan hadiah dan pesta, ini adalah reli termahal. Pacuan dengan taruah besar!

Ngomong-ngomong apa kau, wahai diri, siap, kembali diam dalam pacuan mengeram? Bersunyi kembali dengan wajah diri yang paling perkusi?

Arsip Blog

Cari Blog Ini