oleh Generasi Sandal Jepit
Bulan puasa, adalah bulan perburuan, di mana setiap muslim mencoba memperbanyak dan memaknai ibadah demi mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya. Giat mengais hikmah di balik puasa menerjemahkan maknanya dari segi kesehatan, social, islamologinya, individual, bahkan dari segi roda ekonomi.
Money never sleeps, duit nggak pernah tidur, apalagi beribadah atau beramal. Anak judul film Wall Steet ini ada benarnya. Mengingat pasar, ibu kandung dari uang itu, begitu berstaminanya mempertebal dompet siang-malam nonstop. Begitu gesitnya mengintai tiap sisi kehidupan dan kesempatan asal bisa mendapatkan laba. Ramadhan juga tak bisa mengelak dari incarannya.
Sebuah bulan yang memiliki gegap gempita. Dari pelaluan dan laku yang sakral hingga yang profan. Dari yang teistik hingga yang sekuler. Uang bisa dikeruk lewat seremoni dan ritual agama. Mulai dari urusan perut dan lidah : berbuka bersama atau saur bersama, busana dan asesoris bulan puasa dan mengekor untuk hari raya, hingga hiburan yang bernuansa pengajian. .
Semua bisa dikemas dalam kemasan yang “serba enak” dan membikin ketagihan. Ya, kita memang menahan lapar dari waktu imsak hingga waktu maghrib. Tetapi makanan yang kita santap menjadi lebih mewah dan tidak ekonomis dari hari-hari biasanya. Dengan berpuasa pula kita merasa suci dan memaki mereka yang tidak berpuasa. Ya, kita memang memperbanyak sedekah. Tetapi sedekah dan bantuan yang dimaksud selalu dalam arti material. Sehingga kita merasa pantas menepuk dada atas besarnya materi yang sedekahnkan. Ya, kita memang menjadi lebih santun dengan busanan muslim. Tetapi busana muslim yang dipakai bersaing dengan busana tetangga sehingga menyilaukan mata, dan harganya menusuk hati kaum jelata. Ya, kita memang memproduksi tayangan-tayangan religi. Tetapi mengapa nilai-nilai diiklankan adalah fundamentalisme agama. Di mana yang baik digambarkan sebagai yang berjilbab, yang jahat digambarkan dengan tokoh yang berpakaian norak. Tokoh protagonis, entah yang miskin atau kaya, di samping mempromosikan baju muslim yang sama-sama kelas butik, juga mempromosikan kejinakan yang berlebihan, ketundukan terhadap yang kuat tanpa perlawanan. Sementara kalau disuruh mengelah, karena menganut asas tak boleh su-udzon, mereka telak menerima kesewenangan dari pihak lain. Kesemua itu, adalah skenario pasar yang buat. licin dan memikat.
Dan ya, kita memang mengendalikan diri, mengendalikan hawa nafsu tetapi kenapa para penjual CD bajakan yang menjadi sasaran? Mereka dipensiunkan dengan waktu yang tak tentu dalam rangka menghormati bulan Romadlon dan bukannya tindak pidana atas penyebaran hasil karya bajakan. Jalan sembunyi-sembunyi atau melakukan kamuflase dengan menjual jilbab atau minyak wangi sambil sembunyi-sembunyi melayani seorang pelanggan yang sepertinya sudah familiar benar dengan asongan sang penjual CD bajakan dan tanpa sengaja menggunakan jaket almamater akademi kepolisian lengkap dengan tahun angkatan. Atau ada juga yang terpaksa beralih profesi menjadi pelayan toko.
Ya, kita juga bersabar. Tetapi kenapa kesabaran kita ditularkan dengan cara memaksa? Menurunkan sepleton pasukan untuk berjaga-jaga di pasar tradisional,dan bukanya di mal-mal atau swalayan besar, kalau-kalau ada pedagang kakilima yang tak memakai “busanan muslim” sebagaimana bunyi peraturan daerah selama masa puasa. Ya, kita tetap berangkat sekolah. Tetapi kenapa sekolahan mewajibkan muridnya memakai seragam “muslim” sehingga membuat geger ibu-ibu kita agar menjahit baju seragam lagi atau harus mencari kakak kelas yang telah lulus. Siapa tahu baju mereka, yang kebetulan waktu sekolah memakai baju panjang, bisa dipinjam atau diminta secara sukarela.
Televisi yang hampir menjadi kiblat sehari-hari lewat berita, jadwal imsak, jadwal sahur, tayanganmodel baju, ngaji a la selebretis, asupan gizi, harus makan apa yang sehat, minum apa biar mulut nggak bau, makan apa yang menggungah selera, baju muslim model seperti apa yang sedang tren, kue apa yang bakal pas untuk dihidangkan dalam acara silaturahmi lebaran, peci apa yang akan dipakai, kerudung model artis sapa yang bagus dan sedang in, pun mengalami Ramadhanisasi program.
Diam-diam kita telah bergerak jauh secara tak sadar, dengan memakai baju yang tebal dan tertutup rapat selama sebulan, barangkali, menjauh dari makna "busana muslim" dalam terminologi kitab suci : taqwa.
Bahwa Tuhan mewajibkan umat yang beriman pada-Nya untuk berpuasa dengan tujuan ber-"busana muslim" yang sesungguhnya.