Rabu, 28 September 2011

Kadang kala, gratisan adalah kutukan. Begitu yang saya rasakan ketika saya mendapatkan gratisan meruah dari sebuah operator yang saya pakai sementara seharian saya hanya memakainya beberapa saja. Di tengah malam, dengan sisa gratisan sms yang masih sangat banyak serta efek Joni (blak-blakan) yang masih bekerja, dalam suasana masih cair dan akrab akibat reuni dadakan serta sillaturahmi lebaran, saya merasa "wajib" menggunakan secara maksimal(melampiaskan) gratisan tersebut kepada teman-teman dengan berkirim sandek dengan bahasa yang sok akrab lagi sok bijak. Banyak yang setuju isi sms yang saya tebar itu. Ya, seputar "bunga-bunga" mengenai persahabatanlah. Namun, dua balasan cukup menohok jantung kemunafikan saya. Yang pertama balik bertanya: “apakah kita teman?”. Yang kedua adalah pernyataan; “aku tak yakin kalau kita bertaman”. Curigai perasaan kebertemanan kita!

Hm. Negasi seringkali memukau dan memberikan afirmasi, redefinisi, bahkan remember terhadap apa yang dinegasikan. Terus terang dibanding yang setuju saya cukup senang dengan jawaban yang penuh curiga. Memangnya siapa saya? merasa telah berteman dengan mereka? Apa hak saya mengklaim berteman dengan mereka, dan berteman atau tidak saya dengan mereka bukankan itu tak mengurangi hubungan yang sudah “terlanjur” itu? Baik dalam bingkai pertemanan atau hanya sekedar kenal dan berhubungan dengan saling berkirim kabar atau menyapa, hanya karena sering bertemu karena memang keadaan mengharuskan adanya interaksi, terus kita merasa berteman?

Lagipula kenapa harus berteman, kalau kita cukup “baik-baik saja” hanya dengan saling kenal?
Saya jawab : "Tentu saja engkau curiga bahwa kita hanya orang asing yang sesekali saling bertukar kabar, kita hanya manusia yang kebetulan hidup dalam satu masa dan berinteraksi di dalamnya. Sekalipun aku tak tahu jawaban pastinya, tetapi engkau sahabatku belum tentu aku sahabatmu, demikian sebaliknya. Kita juga tak layak merasa jadi sahabat hanya karena pertukaran dan transaksi kat-kata yang kebetulan bernada persahabatan, di antara kita hanya ada kata-kata, persahabatan-nya sendiri entah ada atau tidak, tergantung pengertian dan perasaan itu sendiri".

Lagi pula, dibanding persamaan dan saling mengerti, kita seringkali tidak mendapatkan itu semua. Kesimpulan pra-reuni dengan beberapa teman, karena didorong oleh beberapa teman yang sudah ganti pasangan, teman, bisa jadi adalah pacar abadi layaknya saya ralat dalam-dalam. Tak ada itu semua, kita hanya sibuk menghimpun kepentingan maksimal di dalam interaksi kita, bukan? Tanpa bermaksud mengurangi perasaan persahabatan bagi yang menyetujuinya, saya malah lebih semangat dalam menguatkan skeptasi adanya jalinan yang bernama persahabatan agarjalinan sosial itu tak melulu masuk dalam himpunan kepentingan saja. Bagaimana saya layak dikatakan sahabat mereka sementara saat mereka ulang tahun saya tak pernah mengucapkan selamat ulang tahun? Bagaimana saya bisa dikatakn sahabat mereka tiap kali mereka berbicara mengenai salon, tempat makan, bahkan bursa asmara saya tak pernah merasa terlibat? Bagaimana saya bisa dikatakan teman mereka kalau saya ogah-ogahan tiap kali diajak kumpul-kumpul maupun tongkrongan. Juga sebaliknya.

Berikutnya jawaban seorang teman cukup jenaka: "Beruntung saja kita tak hidup di zaman perang dan tak sedang perang, coba kalau dalam situasi itu. Kita harus bisa memilah mana kawan mana lawan". Saya pun mengamini, beruntung kita bukan musuh. Kalimat falsifikasi itu melegakan. Kita tak perlu tahu apakah kita berteman atau tidak, tetapi minimal kita bukan musuh.

Arsip Blog

Cari Blog Ini