Laki-laki seringkali terburu-buru menyatakan perasaan cintanya terhadap perempuan. Dengan merasakan cinta, mereka seolah-olah telah dewasa. Dan tak bisa meragukan sedikit saya perasaan yang ia rasakan. Bahkan saat para perempuan meragukannya mereka semua memiliki jawaban yang sama dengan ungkapan Hamlet kepada Ophelia; Ragukan bintang itu api/ ragukan matahari itu bergerak/ ragukan kebenaran itu dusta/ tetapi jangan ragukan cintaku.
Padahal, bagi seorang perempuan, tak mudah membuat konklusi dan meyakini bahwa pernyataan itu benar. Apalagi hanya dengan/karena pernah bertemu dua atau tiga kali saja yang tak sampai berjam-jam lamanya. Atau hanya pernah terlibat kegiatan yang sama yang hanya berlangsung satu bulan. Padahal, sebagai seorang perempuan akan lebih nyaman semua jalinan berada dalam koridor persahabatan yang kokoh atau setidaknya saling lebih tahu satu sama lain lebih dari pertukaran informasi statistika semata dan saling nyaman dahulu, sebelum cinta menyeruak di antaranya. Sebelum cinta memorak-porandakan detak jantung dan keterbukaan sahabat. Sehingga saat bangunan kokoh persahabatan itu harus dirombak strukturnya menjadi hubungan lebih intim dalam hubungan apa yang disebut pacaran dari sepasang kekasih, atau mungkin hanya tetap sebagai sahabat, jalinan itu tak mudah rusak.
Ada kalahanya memang perasaan itu berbalas. Namun, sebagai perempuan, yang berusaha untuk tidak menjadi mainan dan objek hasrat melulu, juga butuh waktu untuk menyusun sebuah konfirmasi dari pernyataan cinta seorang lelaki. Apakah pernyataan itu benar adanya atau hanya hasrat sejenak dan jeda sesaat dari penat seharian dan pelarian kelelahan. Atau hanya perasaan cinta sesaat yang akan tamat dalam hitungan petak umpat. Sekalipun pernyataan itu kuat, sangat kuat, terlalu kuat, namun jika tak memiliki ketahanan dan hanya kesementaraan, bukankah semua akan berbekas sangat menyakitnya jika kita, sebagai perempuan, dengan mudah mengiyakan?
Dan sebagai perempuan, kitapun hendak kembali mempertanyakan perasaan kita terhadap laki-laki; apakah kita telah jatuh hati atau hanya perasaan senang dicintai. Kalaupun benar perasaan itu disebut cinta, kita butuh tahu diri seberapa ketahanan perasaan itu. Agar di tengah-tengahnya tak perlu ada keributan yang kurang menyenangkan.
Sebagai perempuan pun berhak berekspektasi dan diapresiasi. Bahwa ia bukan bola atu barang material lainnya. Seorang perempuan kadang ingin diapresiasi (dicintai) seolah sebuah nyanyian. Yang tak hanya bisa dilihat dari sisi nada(fisik) saja, tetapi juga liriknya.
Sebab, sebagai perempuan, makhluk yang konon memiliki ketahanan lebih tinggi dari laki, tak ingin menjadi arena yang hanya bisa dijajah dan disakiti dengan sekerat gombal akibat hasrat yang menggebu dari seorang lelaki sementara setelah semua penasaran dan pesonanya yang diincarnya telah hilang.
Dan bagi seorang perempuan, dan saya rasa bagi laki-laki juga, sebuah perasaan yang muncul terburu, jalinan yang dibangun terburu-buru, sering kali, walaupun tidak semua, berakhir dengan tergesa-gesa juga.
