Sabtu, 28 Januari 2012

Sebuah Cerita

Cinta yang berakhir dengan kram seluruh badan.

Kalau saja bukan demi sopan santun dan menjaga perasaan untuk penderitaan yang didap oleh salah satu adikku, aku hampir terbahak saat temanku menemukan klausa jenaka di atas. Cinta yang membuat kram hampir seluruh badan, tangan dan kaki kaku hingga tak bisa berjalan. Awalnya saya khawatir kalau dia kena jenis flu unggas yang mematikan atau radang sumsum tulang berdasar keterangan dari teman saya yang sudah bertanya pada kyai Google.

Tiga hari dia mangkir belajar, ketika dijenguk ternyata tergeletak tak bisa bergerak sudah tiga harian. Orangtunya, menurut cerita tetangga, sewot kalau ada tetangga atau kerabat yang peduli yang berniat membawanya berobat dan mencak-mencak tak mau berutang budi dan selalu mengumbar kekereannya. Maka terpaksa ketika kedua orang tua lengah, kami bawa si adik itu.

Agak heran kami mendengar seorang dokter mengira-kira penyebabnya : " dia banyak pikiran kali, mbak". Namun si adik itu tak mau mengaku. Setelah kami selesai dengan urusan surat keterangan desa dan (pada akhirnya mau tidak mau tetap berurusan) meminta tanda tangan orang tua si adik dengan melewati adu mulut begitu sengit, kami interogasi si sakit dan akhirnya cerita juga, dan masalahnya...kemelut cinta segitiga! (Alamak! Terlalu borjuis ini penyakit, batin saya menyeletuk. Eh, emanganya sakit yang disebabkan oleh cinta itu cuma milik orang-orang gede-gedean apa? Sakit hati dan penyakit cinta juga berhak diidap siapa saja. Mentang-mentang bukan orang berada masa dilarang sakit, termasuk penyakit cinta) .Teman saya berang, langsung meluntahkan kata-kata "keramatnya".

Jatuh cinta, pacaran, itu hak setiap orang tetapi saat cinta sudah nipu logika dengan kelewatan mana ada kata toleran. Dan teman saya, yang masih kebal dengan cinta itu, tentu saja mudah ngomongnya, dia belum nemu objek cinta yang tepat. Namun siapa sangka setelah teman saja mampu menelanjangi perasaan malu-malu teman yang menyertai , kami malah mendapatkan curhatan cinta sususlan dari teman-teman yang menungguinya.

Bocah yang sedang belajar menikmati pahit dan manisnya gelora asmara itu belum bisa mengatasai cara memanipulasi rasa apalagi mengatasinya. Jujur dan lancar ia berujar tentang sakit hati yang selama ini ia idap. Puncaknya, selain sakit hati karena pacarnya "direbut", ia malah dituduh mau merusak hubungan asmara mantan pacar dan temannya. Waw, jatuh cinta searah atau dua arah saja bisa berabe, apalagi yang sampai tiga jalur macam cinta segitiga. Jadi sekalipun mereka yang di belajar di teknik tahu banngunan paling dasar paling kokoh ya, segitiga itu. Tetapi dalam urusan cinta, fondasi demikian paling merapuhkan.

Maka sambil bercanda saya pegang pergelangan tangannya, nyontek adegan di sebuah novel, lalu saya sebut nama satu-satu. Bingo! Ibnu Sina benar. Metode klasik ini masih releven dan berlaku, terutama terhadap remaja yang belum bisa memanipulasi perasaan dan denyut nadi. Denyutnya lebih cepat saat suatu nama, kekasih hatinya, aku sebutkan.

Kami ketawa, si gadis kecil itu mau tak mau tersenyum malu-malu. Namun, di antara kami semua terselip bahagia yang cuma-cuma, beberapa kawannya menyanggupi menunggunya secara bergilir, karena orang tua si sakit, terlalu "pusing" untuk berurusan dengan rumah sakit.

Romantisme saya mengeliat, ingin rasanya saat menulis di secarik kertas sajak yang dinukil dari Yevgeni Yevtushenko untuk menghiburnya; dan jika seorang manusia hidup dalam kekelaman, namun bisa menjalin pershabatan dengan para sahabatnya, kekelaman bukan lagi hal yang menjemukan.

Suatu cuplikan sajak yang juga gagal saya berikan kepada remaja yang ikut menungguinya juga, yang pernah memiliki rencana untuk bunuh diri, setelah kami temukan empat tablet sakit kepala dan sebotol "Sprite" di lemarinya.




Arsip Blog

Cari Blog Ini