Minggu, 29 Januari 2012

Khayalan

Beberapa tahun yang silam, dua bocah yang lagi ngalami pubertas berangkat ke sekolah bareng dan jalan kaki, tiba-tiba seorang remaja cewek cantik dengan motor mulus melintas. Mata mereka tak bisa lengah ke arah pandangan itu.

“Kalau tiba-tiba kau dapat duit tujuh juta, kamu mau beli apa?” ujar bocah yang satu.

“Heh, apa? Kalau kamu sendiri?”

“Aku mau beli motor yang kayak itu tadi. He he he, rumahku kan jauh dari kota. 'Tar aku tebeningin kamu kalau kamu kemana-mana ” berderai tawa si bocah tadi. “kalau kamu apa?!!!”

“Aku mau beli buku yang sekarang cuma kita kenal judulny saja. ‘Tar kamu juga tak tebengin baca dah. Ha ha ha”

Dua bocah yang lagi puber itu tertawa berderai. Mereka sedang belajar menipu diri dengan khayalan-khayalan yang datang mendadak dan menghibur diri. Tak apa-apa, toh berkhayal itu hak asasi manusia dan tidak mengganggu orang lain, bukan pula perillaku menyimpang.

Kini, sebuah kursi mahal yang menjadi polusi telinga dan mata kita tiap televise dinyalakan, polusi tiap halaman-halaman berita dibuka, mungkin juga membikin bejibun bocah yang beranjak remaja yang menyeret dusta-dusta indah di jalanan sambil cekikikan mengenai apa yang bakal mereka lakukan kalau tiba-tiba dapat duit sebanyak harga kursi yang kelewat mahal itu.

Benar saja, menerbitkan imajinasi itu gampang, menyenangkan pula. Sebab tatkala pertanyaan itu kita lemparkan ke anak-anak kecil dan beberapa anak yang mendekati usia remaja, mereka juga memiliki beragam jawaban yang lebih berguna ketimbang hanya mengejar kenyamana dari suatu tindakan duduk. Suatu kenyamanan yang bisa membuat tuli dan buta matahati dan pikirannya.

“Saya akan memberikan pada emak, buat benerin warung .” kata anak yang warung ibunya lantak karena bisikan kegelisahan angin.

“Saya…saya…” bola anak itu berputar mencari pengandaian yang paling bagus dan mengira-kira seberapa banyak duit dua puluh empat juta itu . ..”beli tivi yang gede.”

Dan yang lain mulai terpancing karena telah memiliki jawaban tapi tidak kunjung datang giliran.

“Saya beli mobil!” (tipe anak angkot neh kayaknya)

“Saya mau bikin kamar saja.”

“Beli tas, sepatu, kulkas” (tipe pemborong)

“Beli apel! Apel merah!” ngawur seorang bocah menjawab.

“Apel malang, apel washington.” Ujar bocah yang sedikit melek berita menimpali, pretensius.

Dan beragam jawaban yang membuat kita tergelak bahagia. Tertawa hingga perut kaku. Tetapi tak ada satupun yang menyebutkan ingin beli kursi. Sebab bagi mereka duduk di dipan all in one saja sudah sangat nyaman. Kursi, apalagi kursi yang sangat mahal, bukanlah impian. Ngelemprak, alias duduk di lantai saja dengan bercanda dengan kawan-kawan sudah membuat mereka senang. Mereka, tidak semuanya tahu bahwa pernah ada jenius kehidupan yang amat dikagumi oleh jenius yang menemukan rumusan relativitas memilih duduk ngelemprak juga.

Anak-anak bahkan belum sampai usia remaja, sekalipun hanya mimpi, mereka memiliki khayalan yang lebih fungsionalis ketimbang para pejabat wakil rakyat. Mata hati mereka lebih jeli, lebih ngerti dan tidak neko-neko.

**

Dan fungsionalisme hampir mendekati omong kosong yang paling murni di era ketika teknologi, kerja mekanik, proses produksi, harus bersinggungan, atau selalu dirumuskan dengan efisisensi, efektivitas dan kepraktisan. Mereka yang mengaku telah begitu beradab dan dibesarkan oleh modernitas, tersekolahkan dan dimanja kursus-kursus pula, nyatanya adalah pengkhianat dari identitas asasi kemoderenannya. Ketika orang dewasa begitu meruah dengan konsep dan deretan data faktual, anak-anak lebih suka imajinasi yang serat visi yang malah sering dituduh terlalu mewah dan sedikit kandungan ke-nyata-annya.

**

Kerena khayalan itu memang enak, pikiran saya pun menerbitkan khayalan yang sejenis sampai melontar di depan orang rumah. Seandainya saya dapat duit sebanyak itu, mungkin saya bisa ‘memelihara’ atau bahkan menerbitkan rasa takjub dan heran khas anak-anak dan 'menjaga'-nya untuk kesenangan saya sendiri.

Namun ayah saya, negasi sukarela saya yang selalu rajin menjalankan perannya langsung menginterupsi kenikmatan khayal saya.

“Tukang khayal payah!”

“Jangan salah, khayalan itu setengah doa ” Saya membela diri.

“Dan setengahnya itu dusta penuh dosa” Sengit dia mengejar.

Olala, apa kabar “seandainya”?


Arsip Blog

Cari Blog Ini