Sabtu, 04 Februari 2012

Birokrasi

Siapa yang senang katika mendengar kata yang satu ini. Bayangan kita, kesan kita, bahkan pengalaman kita tak perenah manis manakala berhubungan dengan aparatus negara. Setiap kita berhubungan dengan mereka adalah sekerut kening, sederet gerutu batin dan beberapa umpat di belakang kemudian.

Birokrasi tak pernah salah. Kesalahan mereka, selalu warga yang tanggung. Kan warga yang berkepentingan, begitu pikiran najis itu sudah menjidat. Tetapi toh , para birokrat asik-asik saja, sekalipun mereka tahu tindakana mereka selalu kurang menyenangkan, prosedur yang mereka mainkan selalu jauh dari kepuasan warga. Bahkan mereka seolah ingin mengabadikan anggapan itu. Mereka mempersulit, berbelit-belit.

Pelecehan mereka lakukan sebagai guyonan. Seperti karena terlalu lama dan bertele-tela tentu saja kita mendesak dan selalu menemui birokrat yang bersangkutan, namun birokrat lain yang parahnya berkelamin sama dengan warga yang sedang berurusan dengan birokrasi berceletuk ; duh, pakai parfum apa sih, Mas, sampai-sampai dikuntit wanit terus-terusan.”

Itu hanya kata-kata, kata mereka begitu pemaaf dan memiliki cita rasa humor yang ketinggian. Tetapi tahukah mereka "dikuntit" karena teledor dan ayem-ayeman begitu. Sementara si pemohon, warga yang ingin dilayani, sedang dalam urusan yang cukup mendesak dan penting.
Tentu kita sudah kenyang dengan segudang cerita konyol senada. Sebab dari tingkat desa, sistem calo diadopsi oleh birokrasi pun kelewat berlakunya. Mereka belajar dari preman jalanan. Masih terngiang jelas saat seorang presiden yang diimpeachment di negeri ini sampai berceletuk kira-kira demikian; “negara ini adalah negara preman,” di sebuah lawatan di negeri zionis sana. Mungkin yang dimaksud adalah birokrasinya.

Dan kita seperti tak memiliki wadah untuk protes. Hanya bisa menjadi semacam masalah bersama yang harus diterima sebagai nasib yang tak bisa diganggu gugat.

Suatu cerita lain mengenai berbelitnya birokrasi adalah meraka mewakili sebuah pemerintahan yang mengaku “peduli”. Awalnya tak ada keinginan berurusan dengan pemerintahan di setiap kegiatan bagi kelompok ini. Apalagi sampai mengemis hingga kudisan. Toh, selama ini kegiatan terus berjalan dengan baik, dengan sumber daya seadanya. Namun ketika pemerintah campur tangan. Mereka tersulut emosinya.

Tanpa tahu, kegiatan dan kelompok ini terdaftar atau didaftarkan dalam penerima sumbangan dana sosial tahunan dari pemerintah kabupaten. Sebagai penghormatan dari aparat yang peduli hingga mendaftarkan itu, kelompok ini menghargainya dengan menindaklanjuti dengan pengurus ini itu. Sekalipun kita tahu, menerima dana dari pemerintah mau tidak mau harus jadi pengemis dahulu.

Awalnya tampak mudah. Namun benar saja, pada akhirnya berbelit dengan segudang pelecehan dan seringai pegawai survei. Sekalipun kita menenangkan diri dan emosi dengan berkata pada diri : kami tidak pernah meminta, urusan masuk kualifikasi atau tidak itu buka urusan kami.
Mereka melakukan survei dengan cekikikan. Survey itu layaknya pegawai bank yang ingin cross check terhadap pemohon utang. Padahal kami tak meminta didaftar. Survei itu seringai sombong para orang tolol yang merasa pintar. Kalau sudah terdaftar dan masih meragukan kegiatan kami? Kenapa harus ada dana tahunan semacam itu? Kalaupun kami dianggap fiktif hanya karena tidak memiliki plang. Kenapa tercantum dalam daftar? Dicoretpun kami siap.

Prasangka buruk terbenak; semakin banyak kegiatan, semakin banyak uang jajan. Makanya sesuatu yang seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah, sengaja diperlama dan dipersusah. Toh duit tinggal minta sama pemerintah, begitu mungkin pikir mereka yang butuh uang tambah. Setelah beres melalui “transaksi” data secara digital, kami masih juga disuruh menyelesaikannya secara manual.

Mbok yao, audit dan survey tidak dilakukan hanya karena dana akan cair. Sehingga pemantauan dan perhatian itu terlihat sungguh-sungguh dan bukan lantaran ada duit yang akan mengalir sekaligus takut akan kecolongan dana. Kepedulian itu bukan segepok duit, bukan selintas audit dan bukan serentetan kerumitan. Kalau mereka menyeringai, kita juga bisa mnyeringai sinis ; emang mau kasih berapa sih, ini orang berbelit-belit dan memposisikan kami layaknya pengemis dana. Seperti yang tuan-tuan tahu, plang saja kami tak punya!

Jangan heran manakala prasangka tumbuh subur; mengapa mereka ngotot sembari mengucurkan pelecehan; barangkali biar depertemen sosial tidak dibubarkan dan kelihatan ada kegiatan yang itu sama dengan tersedianya 'sripilan'.

Ikan tuna pun butuh teri untuk menjaga eksistensinya dari ancaman hiu...

Arsip Blog

Cari Blog Ini