Jumat, 03 Februari 2012

Tiruan

Agaknya penyakit pascakolonial inferior complex alias minder yang diidap bangsa ini, masih belum terbilang membaik, bahkan cenderung memburuk. Enam puluh tahun lebih kita merasa merdeka secara fisik. Namun tampak jelas kolonialisasi internal berhasil terus mencengkramnya. Penjajahan laten yang lebih bahaya dan lebih menakutkan. Lebih mengguncang iman, dan lebih memabukkan daripada kemerdekaan itu sendiri. (slogan banget neh!)

Apalagi ketika para pemimpin sudah dengan sukarela menjari mitra dan "tong sampah" pembuangan budaya-budaya Barat . Anggota parlemen dan dewan sudah merasa bak bangsawan yang manja menuntut fasilitas, sampai-sampai urusan belanja rumah tangga saja jadi skandal. Kehidupan mereka yang tidak prinsipil dibuka seperti sirkus dan tontonan menyaingi program acara komedi di televise yang seringkali melecehkan tampang fisik.

Konser penyanyi-penyanyi impor maraja, musikalitas dan budaya pop dimitasi. Mengkopi dan mengepas sudah sangat lumrah. Dan sederet gaya hidup kelas atas digelar murah bak tontonan badut.

Untunglah, kita masih bisa tergelak melihat tingkah wakil rakyat yang masih juga seperti anak taman kanak-kanak. Kita masih punya dunia "maya" yang bisa menampung sumpah serapah kita. Kita masih bisa pura-pura peduli, pura-pura marah dan pura-pura cinta pada Indonesia. Sambil sesekali kita mengekor dengan bangga gaya hidup para elit eksosbud di negeri ini yang sudah jadi pengekor fashion dunia Barat. Siapa tahu kita dapat kesempatan untuk kaya dan bisa mencicipi gaya itu.

Kita baru bangga kalau cara berpakian kita mirip orang luar (yang seringkali berarti Amerika dan ibu kandungnya, Eropa), nama kita kebarat-baratan dan bahas asing kita lancar. Makanya kita demen sinetron yang wajah pemainnya kebanyakan hasil persilangan yang kekerabatannya jauh, hibrida, blasteran. Kita demen infotainment yang artisnya berbicara dengan bahasa bule sepenggal-sepenggal. Kita demen makana yang namanya saja sangat asing di telinga. Padahal terkadang lidah kita sedikit menolaknya.

Semua produk hampir memiliki tiruan, atau dalam istilah tanah abang atau pasar glodok ada satuan imitasi semacam KW. Sekalipun kita tak menikmati produk mahal para delegasi merk impor itu, kita masih bisa menikmati imitasinya. Gradasif.

Benak saya memunculkan tanya yang mungkin sudah terulang di memori siapapun yang terusik dengan kejomplangan gaya hidup yang telah menggiring bangsa ini rajin dan giat memelihara budaya koruptif akibat dorongan libido konsumsi. Kapan kita setidaknya mengiki sedikit jejak orang kebanyakan? Ketika kita ikut latah berbincang OWS, nampaknya hanya sebagai wacana saja, namun ada hal substansif dari OWS yang mempu membuat kita bisa bertindak secepat mungkin. Membalik kebiasaan warga sembilan puluh sembilan persen yang mati-matian meniru si satu persen.

Sekalipun kemiskinan itu tidak boleh didewakan, namun bukan berarti jalan kesederhanaan tertutup. Kita tak mungkin menyerukan gaya busana tukang becak yang memakai baju “dinas” kaos partai yang dibagikan cuma-cuma tanpa harus terbebani memilih partai yang member kaos ( itung-itung mutualisme; abang becak dapat kaos gratis, tim sukses suatu partai bisa pasang iklan dan poster efektif tanpa dibebani pajak). Kita mungkin juga tak beralih makan singkong dan menuntut pemimpin negara ini memakai kendaraan produksi anak negeri. Apalagi ngangkot atau jalan kaki.

Kerana riwayat peniruan yang baik, selain mencontek kehidupan papan atas, bukankah kita juga bisa mencoba meniru kehidupan papan bawah, atau lebih tepatnya penyelarasan kehidupan rakyat kebanyakan?

Ah, iya, tetapi kita juga dikenal pemalu juga! Kita malu bila tetangga bergunjing membicarakan kekurangan penampilan kita. Kita juga gampang panasan tatkala tetangga beli perabotan baru yang lebih mahal. Maka mustahil seorang kepala daerah yang mampu mempromosikan produksi kendaraan selayak mainan dan perakitan tamia ditiru oleh Sang Jenderal yang begitu peduli dengan citra dan wibawa . Gosipnya, ia malah ingin beli pesawat seharga setengah triliun untuk kendaraan dinas kebesaran.

Dan cerita pemimpin hebat yang tak pernah malu hanya karena perbedaan tata cara makan , tak mungkin bisa masuk dalam daftar sesuatu yang layak ditiru. Lanataran ia adalah menlu dari sebuah negeri yang rakyatnya belum mengenal sendok dan garpu, tentu saja biasa bertamu dan kedatangan tamu. Makan semeja dengan pemimpin dan perwakilan berbagai negeri dan tetap menggunakan tangan langsung tanpa sendok, garpu apalagi pisau. “My hand is clean,” jawabnya tatakala tamu negara atau tuan rumah di suatu negara yang ia kunjungai bertanya mengapa. Masuk akal. Kalau tangan kita bersih kenapa harus memakai sendok dan garpu?

Mungkin sangka kita, Haji Agus Salim muslim alim karena itu ia mengikuti sunah nabi. Tetapi pertimbangan bisa jadi lebih dari itu. Sebab di saat negeri tempat ia menjadi salah satu pemimpin yang baru dua atau lima tahun merdeka, rakyatnya masih banyak yang makan pakai tangan dan hanya segelintir yang makan pakai sendok, apalagi garpu.


Arsip Blog

Cari Blog Ini