Minggu, 13 Mei 2012

Menuju Diri Sendiri

Pernahkah anda merasa bahwa kita tumbuh semakin menjauh dari diri kita? Kita semakin kehilangan diri kita, kehilangan arah, sementara tujuan kita bercabang-cabang!

Ketika malam yang gulita itu, ketika kekejian segala perasaan dan kegelisahan yang paling banal teracung ke langit. Ketika harapan dan mimpi saling meninju di dada yang terkadang bobol tak bisa menahan daya takterterka. Berlalu. Mengapa malam begitu gampang disingkirkan? Saat manusia yang bekerja, menjadi budak atau setengah merdeka merasakan bahwa ia menjadi manusia. Ia memelihara kebimbangan purba yang abadi. Ia yang seolah merasakan hantaman angin nakal yang menerpa wajah dan tubuh. Kedinginan yang menyalak ke kelopak hingga mata tak gampang menunduk. Ia serasa menjadi resi dari sekelumit waktu hidupnya. Hanya di jeda gulita. Ketika rembulan berterimakasih kepada para pemujanya. Ketika lampu-lampu mengada demi secuil kemegehan yang berlangsung begitu panjang namun hanya sejenak yang mampu ditangkap rasa.

Seolah keahlian ini sebanding dengah pedih yang kita rasai. Pedih yang menindih kesombongan. Pedih yang sekalipun menjeritkan apa yang menjadi hakknya musti didengar sepenggal-sepengggal. Pedih yang kehilangan arah ketika merasuk ke dalam jiwa manusia yang masih terperangkan dengan keraguan. Pedih yang merintih di kegelapan dalam jiwa-jiwa lapar. Masing-masing jiwa mencoba bersatu dengan caranya demi mengkudeta sepi yang jahanam. Sepi yang merongrong ke dalam dan mencoba menceburkan manusia pada sebuah pola perulangan dan kubangan memabukkan. Mabuk berserikat. Mabuk bercakap. Mabuk mengada dengan kemiskinan nuansa. Namun diam-diam suara kita mengecil, ada kita mengerdil dan kedirian kita semakin gigil.

Kala yang harus dipertahankan di antara maling-maling waktu yang menginginkan jatahnya lebih besar, mengajari kecemasan, dan saling mengemis perhatian. Seolah mengerti dan memahami hanya kata-kata, kedalaman pengetahun terupa dalam serapah pekat dan laknat pada yang jahat. Dan perasaan iba, berempati, bersimpati hanya suatu ornamen yang siap dipamerkan demi citra ketinggian kemanusiaan. Sang resi kehidupan?! Bahwa dengan mengolah dan mengumpulkan kata, rasa, garis dan nyanyian tragis umat manusia kita sudah tak lagi menghibur diri, tetapi menepati alam sangka yang diminta oleh keadaan yang dikreasi demi memunculkan sandiwara-sandiwara di pentas hidup. Para dalang defisit imajinasi. Para wayang enggan berimprovisasi.

Arsip Blog

Cari Blog Ini