Sebagai manusia (masa hewan?) nocturnal, sayang bukan kalau melewatkan malam hanya dengan tiduran? Namun apa yang mesti dilakukan kala semangat berbuat meinggalkan kita sementara kegelisahan terus menerkam? Delapan watt sudah dimatikan dan jendela sudah terbuka. Tetap saja kegelapan itu tidak seberat dan tak kunjung pula membisikan apa-apa selain hasrat untuk keluar rumah. Menyelinap diam-diam.
Belum juga pukul dua. Nyali menciut juga, sebab barangkali di jalan masih terisi satu dua manusia yang senasib dan tidak enak kelihatan atau mesti bertukar sapa bagaimana. Namun hasrat tak dapat dibendung. Maju….Jalan! Di derat ketiga rumah tetangga (terhitung dari kandnag saya) terlihat masih ada manusia melahap kegelapan langit, lampu depan rumahnya dimatikan dan bara tembakau masih tersulut. Aku putar arah agar tidak terlihat. Selain takut mengganggu juga bisa dikira cari perhatian pula. Maka terbentang cakrawala sunyi. Jalan yang lengang. Lampu yang kesepian, rumah-rumah yang membisu. Sayup-sayup terdengar suara dari radio, wayangan. Di antara penghuninya ada seorang kakek. Tentu dia orangnya yang masih melek demi genjrang-genjreng dan suara dalang yang naik turun.
Gundukan pasir di sebuah rumah menyelipkan rasa takut. Ini dia! Aku masih takut juga dengan baying-bayang kegelapan, terutama dari rindang pohon yang hanya separo tersinari lampu. Ada sensasi horor euy! Sungguh beda dengan ketika saya ngelayap di alun-alun yang kosong. Ruko-ruko yang berhiaskan tubuh gembel yang tergolek mengistirahatkan lelah. Atau…kali waktu , jam setengah empat pagimenyusuri jalan raya dengan adik saya. Jalan-jalan gelap dan trayek gelap mulai beroperasi. Saya naik salah satu angkutan yang sejatinya untuk mengangkut barang, namun berhenti dan bertanya kemana? Saya jawab; pasar! Ketika itu adik saya marah karena saya malah naik angkutan barang dan bukanya jalan kaki. Si supir tahu, ada pertengkaran dari gelegat kami, maka dia langsung membuka percakapan apa saja. Juga tentang rasa curiga penumpang jam tiga dini hari. Dan ternyata dia punya pelanggan tetap yang harus mengejar waktu agar sampai ke pasar sedini mungkin. Sebelum subuh menggema. Bahkan sebelum jam empat pagi. Dan pasar itu, sudah ramai. Dari cerita tukang sayur, mereka mengharuskan sudah sampai di pasar jam dua pagi dan pelanggan (penjual sayur dari daerah lain) malah ada juga yang datang sebelumnya.
Kalau di malam hari, dulu, ketika tingggal di asrama dan bisa memaksa teman-teman untuk menyambangi malam lalu nongkrong di warung kopi emperan, pulang jalan kaki lalu terbengong-bengong di depan masjid menunggu malam melarut sambil ngoceh tak karuan. (jangan bayangkan kami teler lah!)
Tapi di kampung sendiri, paling banter jalan-jalan ya, sehabis subuh. Di tengah malam atau malah dini hari? Mirip orang ronda pula, baru kali ini. Dan anehnya kian jauh langkah yang saya, takut terus hinggap begitu lebat. Namun rasa penasaran dan keinginan untuk membuang apa yang menyumpal di hati, harus dilunasi. Pandang saja pohon rimbun dan kegelapan di sebelahnya. Pandang saja jalan di ujung yang menikung menuju kuburan itu. Alalah, jantung saya terus terpacu! Lalu balik arah, namun tak menyerah mengambil jalan pulang ke rumah.
Beruntung saya teringat maling. Maling teri yang beroperasi di malam hari. Melawan ketakutan, kegelapan dan dingin. Perasaan dikejar detak jantung yang was-was kalau-kalau operasinya ketahuan atau tak mendapatkan hasil. Paling buruk malah digebukin orang. Lalu ditangkap polisi dan mendekam tiga bulan hanya karena seekor ayam, atau karena sekarung beras. Naas. Jadi saya, yang bukan maling (ngakunya) dan tak ada niat sama sekali untuk mencuri (Belum kali! Tapi jangan sampailah), kenapa mesti takut menapaki jalan-jalan di kampung sendiri….