Kamis, 24 September 2009

Membalikkan Arus Distribusi Parsel

Bulan puasa tak hanya bulan dimana datang momentum untuk meperbanyak amal ibadah, bulan rekonstruksi aklaq dan batin, tapi juga bulan dimana agresifitas pasar meninggkat. Ini ditandai dengan melonjaknya harga bahan pokok, sandang-pangan, dan tak terkecuali jasa transportasi.
Lalu bagaimana keadaan ekonomi setelahnya?

Para pemodal dan pemroduksi yang produktif dan cerdik dapat meraup laba, sementara para konsumen tekor. Apalagi mereka yang bekerja sebagai kuli kontrakan, para pedagang asongan non bahan makanan, seperti para penjual rokok di terminal dan pasar, tukang becak, buruh tani, yang tak mungkin mendapatkan Tunjangan Hari Lebaran? Siapa juga pihak yang peduli dengan mereka?

Pemerintah? Sama lagaknya dengan para pemodal. Birokrat juga setali tiga uang. Mereka sibuk mendaftar siapa-siapa yang akan dikirimi parsel dan tujuan pengiriman parcel itu tentu bukan pada Pak Slamet yang bekerja sebagi tukang becak, Pak Budiman yang menjual rokok eceran di Pasar Wage, atau Pak Parno yang menjadi buruh tani. Tujuan pengiriman itu ialah para kolega, atasan, atau relasi. Bisalah, digunakan untuk kampanye jangka panjang.

Sesungguhnya gejala apakah ini? (etika) Balas budi atau kutukan logika ekonomi?

Perilaku pengiriman parsel hanya jamak di kalangan menengah keatas. Mereka , kaum yang berhak( sekali lagi saya tegaskan mereka berHAK) memperoleh/ menerima zakat, sepertinya tak benar2 merasaka dan memperoleh haknya ( kita terbiasa dengan istilah hak yang berkonotasi dengan kepemilikan ataupun melalui transaksi dan bukan hasil distribusi cuma-cuma) Karena, jika dinominalkan, rasio distribusi zakat kepada yang berhak dan distribusi parsel lebaran yang datang ke kalangan atas masih jomplang .

Barangkali kita berfikir itu lazim, wajar, dan mustahil untuk dirubah. Tapi saya rasa jika setiap dari kita menyadari bahwa kemungkinan masih terbuka untuk terbiasa mendistribusikan parsel dan bingkisan kepada yang membutuhkan. Bukan kepada yang kita butuhkan untuk menghasilkan dan memelihara koneksi saja. Mungkin kesenjangan kehidupan ekonomi masyarakat sekita bisa kita minimalisir lewat sepaket momentum puasa-lebaran tiap tahun…..

Parsel-parsel itu tidak aka menumpuk dirumah, pak camat, pak bupati, pak menteri, atau pak kyai saja. Tetapi parsel2 itu memenuhi rumah tukang becak, buruh tani, pedagang asongan dan kaum senasib lainnya. Sedangkan rumah pejabat2 itu akan dipenuhi senyum puas, senyum ikhlas, senyum syukur karena tak ada barang mubadzir teronggok dirumahnya.

Masih pantaskah seorang kyai mengatakan berkah bulan ramadlan karena banyaknya bingkisan yang datang kealamatnya, sedangkan tetangganya kebingungan mau ngutang kemana lagi untuk sekedar sarapan pagi?

Arsip Blog

Cari Blog Ini