Kepak sayapku serasa menyempit. Atau sesungguhnya kakiku yang melangkah telah tergigit. Separuh dari diri yang kuat memadu semangat, untuk tetap tak goyah dalam simbah gelora untuk tidak menyerah, menguap.
Tentang waktu yang menyihirku sehingga pasi wajahku makin abu-abu. Dan berapa ruang kosong yang mencakar-cakar keteguhan, berdiri dengan sebuah senyum dan ucapkan salam pada tiap sisi yang saling melatari.
Aneh. Aku tak bisa tergelak dalam pesta kecil-kecil dan perayaan atas beberapa kedamaian dan puisi yang menyajikan ranjang kematian ( meminjam istilah Hector dalam The History Boy).
Lidahku makin kelu. Kelu yang tiba-tiba. Seperti jeda yang menyelip. Walau berkali-kali aku coba bangkitkan kenangan tentram, seperti saat berjalan dan tergopoh agar tak sampai kehilangan pagi dalam sebuah perjalanan pagi. Agar tak tertinggal kabut yang menyelimut lembut.
Tetapi seolah jiwa-ku berdiri, meninggalkan raga yang terduduk lalu menari. Tak ada, tak ada yang tahu lalu lalangku.
Apa kataku?, begitu suara seolah dari yang lain menemani tarian-ku. Semua dugaanmu terbukti sudah. Lalu sebuah kata menamparku: “Jika kamu belum cukup dewasa untuk berjabat erat dan merasakan hangat genggaaman jemari kemanusiaan, kamu tidak bisa merasakan kerut penderitaan di tiap wajah yang kamu sapu sambil lalu dengan pandangan matamu yang telah terkepung iklan di televisi dan kibulisasi borjuisi.”
Berbahagialah mereka yang memiliki sekutu untuk sekedar mendengar bisikan angin pada ilalang…