Sabtu, 01 Januari 2011

Malam Pergantian Tahun

Ahai! Malam tahun baru! Memang ucapan selamat tahun baru yang beredar di ruang seluler tak semeriah dengung selamat hari ibu, atau bahkan selamat tahun baru Hijriyyaah (ini mungkin gejala lelahnya mengikuti dengan arus dominant serta tak bisa lepas dari jerat keriuhan). Tetapi selebrasinya tentu saja lebih mewabah dan latah ( Oho! Sebetulnya saya pun berkali-kali bertanya pada diri apa kata ini pantas untuk menggambarkan gejala terompet dan penuhnya alun-alun kota oleh manusia dari balita hingga lansia. Bahkan berkali-kali saya mencoba menuduh diri saya oranng yang cukup iri dengan kebahagiaan mereka dan seenak udel menceletukkan kata “latah”).

Kalau bukan demi sekeping dvd film, mungkin sebaiknya saya meringkuk di kamar dan takdim pada catatan usang ( rencananya memang demikian, tetapi dasar setan histeria itu menggoda saya juga untuk keluar rumah). Tentu saja aku sudah mewanti diri. Tidak ada makanan, terlalu kerdil kalau keluar rumah hanya menuntaskan selera lidah atau panggilan perut ( atau lebih tepatnya nggak ada anggaran alias duit cekak).

Muter-muter. Pasar malam dadakan pun terbentuk dengan manisnya. Tentu saja makanan tetep komoditi utama. Kerumunan manusia mulai berdatangan dari yang pakai mobil mewah samapai yang jalan kaki, dari yang datang bergerombol seperti kesebelasan sampai yang datang sendirian, berkumpul untuk merayakan dan menikmati apa yang namannya malam pergantian tahun yang diwakili trio ini : kembang api, mercon dan terompet.

Kenapa harus di tempat keramain seperti alun-alun dan stadion?
Apa yang harus dirayakan dan untuk apa semuanya? Karena ini tahun baru, batinku menjawab sendiri. hari baru, agenda baru, resolusi baru dan sederet kebaruan lain yang mungkin sesungguhnya lebih nikmat untuk dikonsumsi dalam bayangan positif masa depan. Benak nakal (atau iri?) bertanya-tanya. Kenapa harus ke luar rumah, kenapa harus makan di luar plus jajan. Dan kenapa orang untuk merayakan kedatangan tahun baru itu dengan (menurut ukuran saya saja sih) harga mahal?

Perayaan itu tidak gratis. Cuci mata itu seharusnya ( tidak) cuma-cuma . Dibutuhkan suplai kalori yang cukup untuk jalan-jalan dan melihat keramaian. Belum mata yang lapar dan ajakan untuk berperilaku sama dengan banyak orang: membeli terompet. Dan kenapa harus terompet ? Saya sendiri naksir sama balon helium. Tetapi dengan janji untuk tidak membeli apapun pada diri, saya tidak mau melanggarnya.

Ada anak yang saya terka usianya kira-kira tujuh tahun sedang asik mengantre makanan dan bertelpon ria. Aku curi dengar dia sedang bercakap dengan seseorang dan memamerkan kegiatannya, bahwa ia mau makan dan mau menyaksikan kembang api dan mercon. Ada sepasang muda-mudi sedang menenteng dua cup besar es krim. Ada ibu-ibu yang kepedasan selagi makan. Entah makan apa, saya tak melirik isi mangkuk apalagi tulisan di spanduk warungtenda itu. Ada juga anak kecil yang sedang berteriak “ciat-ciat”, “hyaaaaaaaat!”, sambil memainkan pedang-pedangannya. Barangkali kehadiran mereka memang benar-benar ingin menikmtai suasananya, bukan sekedar menjalani gaya hidup.

Saya tak mau menuduh dengan gegabah bahwa mereka itu orang yang tergila-gila dengan gemerlap lampu dan hiruk keramaian seperti saat saya menanyakan kepada seorang kawan “kenapa nonton tivi terus?” dan jawabanya benar-benar menggodam : “hiburan rakyat, gratis dan praktis. Di mana lagi kalua bukan tv?”
Mungkin demikian juga dengan alasan mereka : “Kalau bukan lewat moment ini kapan lagi kita bisa bersenang-senang menghabiskan sejumlah uang tanpa rasa salah dan berasa bermewah-mewah?”. Atau juga “ Kamu tahu kan bahwa pedagang makanan yang berjajar itu, kapan mereka dapat omset lebih kalau bukna moment malam pergantian tahun yang ingin dinikmati seluruh lapisan ini?”. Dan tentu saja kita bisa tersenyum senang dengan “ Puji Allah, karena telah melimpahkan rezeki tahun baru lewat penjualan terompet”.

Diam-diam saya membenci keusilan saya yang tidak mudah menerima perbedaan cara pandang. Bukankah mereka juga berhak untuk bersenang-senang dan merayakan dengan caranya sendiri. urusan apakah itu latah dan juah ( baca: boros) itu urusan meraka, bukan?

Dan untuk apa pula saya risau dengan pedagang yang tampak sepi pembeli dan dagangannya tak mendapatkan atensi. Untuk apa pula saya mengkhawatirkan wajah bapak (dan beberapa orang yang habis pulang dari kerja proyek ) yang nampak di antara keramaian itu . Bapak itu melintas di sekitar gugusan penjual terompet dan gerombolan manusia berwajah ceria. Sementara ketika matanya jatuh pada kerlip lampu dan keramaian ia seperti tak bisa menikmatinya karena kelelahan dan malah tampak terluka(?).
Jangan sok tahu, batin saya. Jangan sok mengerti, ulang saya.
Betul cerah dan gebyarnya lampu-lampu itu. wajah merekah juga memantul di sana- sini.

Baiklah, salam hormatku untuk kalian selalu.
Aku tak bermaksud sok tahu dan menebar kesan bahwa aku mengerti apa yang kau rasakan.
Tidak. Aku sama sekali tak memahami apalagi saling mengerti.
Riak. Risau! Lalu gemuruh dari dalam.
Dan rumput-rumput yang terinjakpun paham.
Bahwa sensarium akan cepat beranjak. Berlalu seperi dulu-dulu.
Hembus angin yang menelusup batin, bercakap,
Sejenak berteriak..
Itu juga terjadi seperti dulu-dulu sebelum ini.
Apa yang bisa kau perbuat?
Aku terima tuduhmu padaku ibarat penonton yang Cuma bisa berteriak sejenak. Lalu kembali duduk rapi atau karena tak puas, berlalu pergi.


Benar. Belum juga usia duduk saya menatap dan thowaf di sana berumur tiga puluh menit. Saya beranjak dan pulang. Kemudian menonton Karate Kid. Menyaksikan aksi Jacky Chan dan Jade Smith.

Tamat film ini, menyelip gugat pada diri, mana kerisauanmu? Sementara puncak acara pergantian tahun sedang berlangsung.

Rupanya saya malah tak tahu bagaimana cara menikmati malam pergantian tahun baru.

Dan yah…Selamat tahun baru!

Arsip Blog

Cari Blog Ini