Jumat, 07 Oktober 2011

Laju sejarah manusia terganjal oleh urusan perut, demikian Foucault nyaring “menggemakannya”, sejak manusia mengenal rasionalitas kita mulai membentuk tabel gastronomi, mana yang layak dimakan manusia dan mana yang tak layak dimakan. Mana makanan yang paling efisien, dan mana makanana yang mengurangi mobilitas. Dan paling penting adalah mana makanan sehat yang jadi dikonsumsi orang kaya dan mana makanan yang nirekonomi yang bisa diraih kaum papa.

Makanan juga menjadi event-ground pertemuan berbagai urusan. Mulai dari deal2 bisnis,politik, sekedar pesta sosialita, atau kencan. Makanan juga yang menjadi pengawal setia memisahkan si kaya dan si miskin. Makanan juga yang menentukan siapa yang berkuasa, siapa yang berweanang, dan (juga barangkali) siapa yang menang dalam perebutan status sosial atas domistikasi pihak yang ingin dikuasai; aku yang cari makan, akulah tuan kalian! Akulah yang berwenang di negara kecil paling otoriter ini!

Ditambah lagi hal yang menyentuh perasaan seluruh lapisan warga dunia adalah, saat pertanyaan paling basis dan paling biasa ini diungkapkan sebagai bentuk perhatian (?); sudah makan, belum? Padahal kita tahu yang kita tanyai adalah seorang jutawan yang memiliki pelayan yang hanya dengan teriakannya siap menghidangkan aneka ragam hidangan, yang dengan uangnya mampu melenggang direstoran mana saja, yang kita tanyai adalah seseorang yang fasih mengurus dirinya, seseorang yang barngakali sangat lihai terhadap pelampiasan selera lidah. Si penanya berhasil mencapai maksud, yang ditanya juga cukup senang dan merasa diperhatikan.
Kita, melalui makanan, tak pernah kehilangan keprimitifan.

Arsip Blog

Cari Blog Ini