Minggu, 20 November 2011

Nestapa Keranjingan Sosmed

Ketika hari belum lama berganti. Aku malas sekali untuk bangun, sekalipun alarm sudah meraung-raung. Tetapi ketika orang rumah juga telah sampai pada masa yang sama : kamar sebelah meraung juga alarmnya. Aku segera bangkit. Jam 2 lebih sedikit. Itu pun barangkali alarm berulang yang sudah lebih dari tiga kali mengganggu tidur. Setelah aktivitas barang setengah jam. Tanganku sudah gatal, meraih hp. Membangunkan teman atau menjawab e-em-es yang kebetulan (ada) yang harus dijawab.

Nah, "kegatelan" tanganku tidak berhenti di situ. Aku ingin langsung bergabung ke "dunia yang tak pernah tidur". Masuk twitter ( setelah agak jemu dengan facebook). Benar saja, masih banyak orang berkicau sekalipun jam-jam ngantuk. Para penikmat bola sedang sibuk menunggu (apalah menunggu kesibukan?)dan menyaksikan. Saya yang biasa-biasa saja dengan bola sebetulnya ingin bergabung juga, tetapi saya ingin keheningan saja. (masih bisa disebut hening orang yang mencari keramaian meski pada jejaring sosial?)

Nah, ingat ebook kiriman teman dan ada link buku gratis di twitter, lumayan. sayangnya berbahasa asing yang artinya entah kapan saya bisa membacanya (ngakak). Lagi-lagi saya protes pada diri yang narsis. Kamu masih mau ngetwit dan facebooking?
(adik-adik saya suka tertawa kalau kakaknya nyerocos perihal informasi yang didapat dari twitland seraya menimpali : apa urusanku sama dunia itu).

Saya ingat blog, sepertinya males banget nulis buat blog. Terlalu bertele-tela. tetapi saya bertekad pada diri : cuma satu jam, jangan terlalu lama. apapun hasilnya. Bukankan "kegatelan" tangan lebih baik dipakai untuk "meraba" diri sendiri dibanding harus "pamer" citra yang belum tentu pas antara muatan dan ekspresi demi suatu "perhatian" yang tidak jelas ujung-pangkalnya.


Ya, terhadap dunia sosmed, sikap saya masih ambigu; benci tapi rindu, sebel tapi ketagihan. Dan saya rasa bukan hanya saya yang merasakan. Sebuah akun ngetwit berbunyi ; social media life is killing sosial life, dan itu tak hanya sekali dua kali saya jumpai.

Kesimpulannya saya tak terlalu cocok dengan dunia sosmed, baik facebook maupun twitter. Tetapi saya tak bisa meninggalkannya demi sinapsis saya yang melonglong__memakai istilah Nicholas Carr. Sebab saya sering merasa sakau dan merasa terhubung dengan banyak orang, sekaligus merasa saya mengkhianati diri saya ( anda boleh menganngap sikap saya ini sedikit ekstrim)melalui pelacuran kata-kata dan ekspresi bahagia atau duka, yang ujung-ujungnya apa? Bahagia karena kita "diperhatikan"?

Asal nggak lebay dan bercerita mengenai diri melulu nggak apa-apa, saran teman saya. Tetapi apa itu cerita mengani "diri" dan "bukan diri", seseorang yang saya follow berkicau; "heran saya masih banyak orang yang tiap hari hanya bercerita menganai dirinya saja, apa tidak malu?". Kita bisa mengira yang dimaksud mengeani menceritakan diri barangkali mengenai belanja, makanan, kerjaan, curhat seputar hati dlsb.
Kalau tidak bercerita mengenai diri dengan menulis misal; demokrasi sejauh ini hanya mampu jadi pengasuh yang baik bagi kapitalisme" apakah itu yang disebut tidak bercerita mengenai diri? Sementara toh otak "pamer" kita meminta harapan untuk dikagumi dan dipuji (walah gedalah!)

Jujur saja, sayapun menulis agar dibaca, hehe, sekalipun saya sangat sadar paling-paling tulisan saya dibaca saya sendiri (wahahaha, makin akut saja narsisinya). Tetapi akan berbeda manakala kita menulis "untuk" seseorang yang barangkali tak mengenal kita, orang yang entah di mana dan entah siapa. Kalau di twitter kita kan sudah tahu landskapnya; siapa yang akan membaca dan orang seperti apa yang membacanya. Setidaknya gambaran minimalis dari "pembacanya" telah kita miliki.

Mengenai "entah siap yang akan membaca" atau ada dan tidaknya pembaca, seorang teman pernah bilang: aku punya blog tolong kunjungi, tapi jangan di link, aku ingin belajar menulis secara bebas, kalau ketahuan siap aku nanti aku jadi malu dan tak bebas. Dari situ juga saya jadi teringat ketika awal saya ngeblog, keyword untuk searchingnya ternyata nama saya. Nah, berangkat dari situ saya mulai mikir, enak benar teman-teman saya bisa "tahu" dan "memantau" saya, sementara saya tak tahu mereka. Saya pun belajar minimalis informasi sebagaimana orang memakai nickname di facebook dan akun lain mereka dan karena itulah saya belajar bagaimana "peraturan" berinteraksi di dunia maya ( semisal tetangga saya pernah menambahkan saya jadi teman di facebooknya, tetapi beberapa hari kemudian akun saya diblokir, dan saya "haram' komplain apalagi memunculkan kata "kenapa" (yang terakhir adalah peraturan saya sendiri) di depan mukanya). Lagipula saya sudah masuk dalam kategori "sombong" yang nggak akan nge-add duluan kalau tidak karena penasaran atau minat yang tak bisa saya bendung.

Maka, barangkali saya belum bisa mengatakan "selamat tinggal" kepada sosial media, sekalipun sesungguhnya sangat ingin saya lakukan.

Arsip Blog

Cari Blog Ini