Minggu, 13 November 2011

Soedirman

Huhuy, aku makin yakin Goenawan Mohammad “ketularan” M. Rilke saat membikin sajak ini dengan frasa “dingin yang tak tercatat”. Rilke juga menulis hal yang sama ketika menulis surat kepada Lou Andreas;

“Rodin, adalah suatu contoh tiada tara, keajaiban yang menyinar sampai jauh__tapi toh seorang tua, “sepi tidak tertuliskan”….”

Sebetulnya sejak saya membaca puisi GM dan kemudian menemukan sebuah frasa yang sama dalam surat M. Rilke itu, saya yakin GM jelas membaca M. Rilke. dan kenapa saya merasa bersorak, sebab kemarin siang GM berkicau di twitternya dalam dua bahasa, bahasa Rilke, yakni Jerman, dan dalam bahasa Indonesia berbunyi : Benar adalah Waktu, Sang Perusak itu?

Yuhuiiiiiiiiii, saya sepertinya memiliki catatan mengenai tua, kerja dan sepi. Tetapi itu dulu, wakytu saya masih remeja dan mendapati ada kakek-kakek yang tetap saja jadi kernet. Dan si sopir dan kondekturnya sebetulnya agak keberatan, sebab sering mengumpat dengan kata “ dasar pak tua!”. Namun barangkali rasa kasihan nggak bisa mereka ingkari sehingga mereka tetap saja ‘memakai’ si kernet tua sebagai bagian dari awak mereka. Tapi di mana yak? Buku-buku catatan saya?

Kangen buku yang mungkin lembarannya sudah pada menguning bak padi aja. Tetapi sejauh ini saya ingat bahwa saya menuliskan kira-kira mengenai manusia yang selalu dicatat dalam kehangatan jam kerja. Artinya yang diperhitungkan adalah mereka yang masih perkasa, dalam dunia kerja yang dicatat adalah mereka yang bertenaga.


Tetapi saya mau membelokkan “sepi tidak tertuliskan” dan “dingin yang tak tercatat”. Bukan lagi mereka yang tak memiliki sejarah karena tak tercatat, apakah moment, apakah waktu apakah manusia yang kesepian, dengan “puisi yang tak tercatat” : Soedirman!



Soedirman

Saya tidak ragu kalau Pangsar Jend. Soedirman itu terkenal, namanya hampir seluruh warga negara Indonesia tahu siapa dia, baik yang sekilas maupun yang tuntas. Lelaki yang mati begitu muda ini (duh, apakah karena itu Sophocles menulis “ berbahagialah mereka yang mati muda, sedang nasib terbaik adalah bagi mereka yang tidak dilahirkan, dan, untuk melengkapi apa yang senang dikutip Soe Hok Gie, yang tersial adalah mereka ynag mati tua (saya tidak tahu kalau yang terakhir apakah dari Sophocles atau tidak, sebab saya juga tidak khatam membaca Sophocles), yakni tidak genap 35 tahun, tetap muda dalam kenangan.

Saya teringat dua tahun silam di sebuah museum (kompleks Brawijaya), lupa nama musiumnya (jancuuuk, lupaan teruuuus), ranjang yang dikenakan Soedirman ketika bergerilya dalam keadaan sakit tersimpan di sana, saya cuma membenak; owh, pernah ada lelaki muda yang digerogoti tuberkolosis, lelaki kerempeng, seorang Jenderal, memimpin perang di Ambarawa selama lima hari dan kemudian bergerilya selam tujuh bulan naik turun gunung, masuk ke hutan. Kehujanan, kena hawa dingin, digigit nyamuk( nyamuk memang musuh abadi umat manusia, dari yang paling tegar sampai yang paling manja), tulang ngilu, demam. Dengan bekal yang tidak mewah sebagaimana buron penjahat korupsi di negeri ini baik yang umurnya seusia dengan Seodirman maupun yang lebih renta. Plus alat komuniksai yang sangat sederhana. Dapat dibayangkan susahnya.

Lelaki yang memilih memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan dengan terjun langsung ke medan pertempuran ketimbang harus mendapatkan kemerdekaan yang jauh murni sebab membiarkan pihak pencuri ikut mengurusi urusan dalam negeri bukanlah sebuah kemurnian. Soedirman sendiri adalah sebuah kemurnian, sebab ia tak pernah peduli akan dunia “takhta” RI 1, sebagaimana Jenderal penggantinya. Ia juga tidak tertarik dengan dunia politik, sebab kenyataannya berjuang tak harus dalam jalur politik. Ia sependapat dalam tujuan dengan Tan Malaka; mencapai Indonseia seratus persen. Mereka berdua memilih bergerilya dibanding harus menampuh meja runding. Mereka tak menyukai diplomasi yang selalu merugikan bangsa ini. Tetapi Tan bukan gelandang murni sebagaimana Soedirman. Ia adalah Gerpolek itu sendiri.

Ya. Kesalahpahaman tak pernah sepi dari perjalanan sejarah perkawanan. Akibat sebuah peristiwa yang membuat satu sama lain merasa diakui oleh sebuah pihak yang dibenci lain, atau karena yang satu berhasil diterima oleh pihak yang lain, sementara yang lainnya tertolak. Keberseberangan langkah itu tak dihindarkan, sekalipun garis horizon yang mereka tuju, tarangkum dalam titik yang sama.

Aku membayangkan Soedirman yang kerempeng itu kurang tidur demi menyusun strategi dalam kegelapan malam serta persenjataan yang kurang, dengan niat yang menyala-nyala kuat apalah arti kematian seorang Soedirman dibanding kemerdekaan yang membayang dipelupuk mata, yang lebih mempesona dan menggoda dibanding kekasih hatinya, begitu mungkin tekad batinnya. Oleh eksotika dan pesona malam, dalam bayangan saya , Soedirman sedikit tergoda untuk mengekspresikan sensasi personal yang biasa ia alami di malam hari, di bawah naungan langit dan bintang yang berkerlip, dalam guyuran gerimis, atau terpaan sinar bulan dan hawa dingin yang menusuk tulang, dengan jauhnya handai taulan dan kerinduan pada kampung halaman. Sangat tidak mungkin untuk mengekspresikannya dalam bentuk puisi apalagi menggubah lagu, bikin album, atau mungkin sekedar membuat coretan sepi yang menyala di dadanya. Keadaan mendesak ia lebih memilih menjadi “seniman” kemerdekaan dibanding harus berkasih-kasih dengan kata-kata dalam naungan cahaya rembulan, guyuran hujan dan dinginnya hawa belantara, maupun wangi pagi dengan ditemani fajar yang merekah.

Kemerdekaan Indonesia itu sendiri adalah puisi yang ia gubah bersama dengan rekan-rekan, pejuang lainnya. Sebuah mahakarya yang sayanganya sepi apresiasi dari generasi muda seperti kita. Sebuah karya seni yang menginspirasi. Sebab tak hanya darah dan keringat yang memuncrat, namun juga amis nanah dari mereka yang terlepah dalam orbitan hidup akibat kesusahan yang ditebar oleh bajingan-bajingan yang mengaku lebih beradab. Tulang belulang kawan-kawannya yang gugur mendahului adalah gundukan fosfor yang tak pernah membuat api kobaran perjuangan surut sekalipun banjir air luapan samudera hindia menerpanya

Berjajak enam puluh tahunan, jauh tabiat pemimpin negeri ini sekarang. Yang pada usia yang sebaya memilih membuncitkan perutnya memilih kendaraan yang menebarkan kedengkian dan bukan kendaraan ketulusan dari anak buahnya. Yang di usia sangat muda cepat berseberangan dengan kawan bukan lantaran beda pendapat atau kesalahpahaman yang sulit dielak. Namun sebab kepentingan pribadi lebih merajai, kepentingan golongan mengedepan, dan kepentingan bangsa tinggal dibibir saja. Lalu memilih menjual dirinya pada iblis layaknya Faust.

Sebagai seniman kemerdekaan, Soedirman terpanggil dengan rintihan rakyat, dan pedihnya anak negeri yang harus mengucurkan darah dan keringat demi memperkaya bangsa lain. Baju dan jubah Soedirman barangkali bukan bikinan tailor terkenal sebagaimana wakil rakyat yang menggantengkan diri dengan penampilan berjas dan hem yang sekali menjahit barangkali gaji sepuluh bulan karyawan di sebuah pabrik kayu.

Antara haru bercampur malu memenuhi dada ini , sebab seperti yang pernah Iwan Fals teriakan di kota kami ; Inilah kota yang menghasilkan seorang panglima besar Soedirman!” (ha ha ha!, padahal cuma ditumpangi lahir saja, tetapi ya apa salahnya sih bangga) Sang Jendral yang sangat muda, maha guru perang gerilya (kata Cak Nun sih) melawan penjajahan yang sangat menginspirasi bangsa Asia. Soedirman yang tak protes hanya karena fasilitas seadanya, sangat bertolak dengan pejabat wakil rakyat sekarang yang sekalipun sudah makmur secara finansial masih terus menerus mengemis fasilitas dan kemewahan kepada rakyat. Mengemisnya secara paksa pula. ( dasar zombie!!!)


Soedirman, bersama dengan Tan atau Syahrir dan dua proklamator lain barangkali telah berangkulan dan berdamai di sana. Tetapi mungkin Soedirman dan yang lain miris menyaksikan kota yang berkilauan cahaya dan jauh dari hawa sepi. Perih menyaksikan gedung-gedung bak istana yang megah dan hangat di Jakarta itu, berpenghuni para perampok rakyat yang memilki kesusahan hidup yang tak jauh beda ketika bangsa asing menginjak-injak tanah air ini.

Arsip Blog

Cari Blog Ini