Sabtu, 05 November 2011

Surat Keong

Pada diriku berlaku : bersinggungan dengan masa lalu menambah daya hidup yang kian tertitah akibat sergapan kekinian yang sepotong-sepotong dan tak pernah tuntas memberikah suatu arah ke mana sesungguhnya potongan itu akan membawa kita berserah. Jika lebih suka buta dalam arah, dan memberikan kepercayaan pada kepastian tersendiri, atau meraba-raba dalam kegelapan sebab kebutaan tak pernah ditoleransi, namun sakitnya sergapan warna-warna tajam tak bisa kita rasakan, atau keremangan yang sering membuat kita hampir putus asa itu.

Saat hujan menjeratku untuk bermanja-manja dalam kedinginan sebagaimana kebanyakan anak semesta. Temanku sudah tak bisa menoleransi kemangkiranku menemani bocah-bocah berani menantang petir dan hujan. Bersamaan aku keluar, sebuah... surat keong menyambut. Surat!!! Lama sekali aku tak menerima surat keong yang datang atas nama personal. Dunia telah lama meninggalkan kehidupan yang lebih mesra dan tahan lama.

Dugaanku; tentu dari manusia masa lalu yang masih mencatat alamatku. Benar, seorang kawan yang telah lama tak singgah dalam ingatanku. Seorang kawan masa kecil yang tak memiliki cara bagaimana mendapatkan alamat yang lebih mudah ditempuh dan singkat. Aku merasa memasuki jagad kanakku lebih dekat ketika aku berbagi mengenai keluh kesah dan daya hidup (gairah?)panjang kita, dan bukan kesementaraan yang terus berulang dan membawa pada konsekuensi kerapuhan yang semakin menantang.


Dulu, bahkan aku pernah berkomunikasi dengan seorang teman dalam bentuk buku catatan (setiap setengah atau satu bulan buku merk "sinar dunia" dengan tebal 32-38 halaman, diisi segala catatan dan coretan, bahkan gambar untuk membagikan sedikit apa yang ingin kita bincangkan, kita bagi kepada sang teman.

Tetapi seleksi alam a la Darwinian memang masih bekerja, siapa yang paling segar/ "fittest" (dalam menggunakan teknologi (komunikasi)) dialah yang paling bertahan/menang "survive". Surat keong?!! Bassssssi, kata para dromolog maupun penganut setianya.

Begitu juga nasib surat undangan. Undangan nikah atau undangan lain, orang tinggal sebar lewat surel atau bahkan sms doang. Sekalipun alat komunikasi yang sangat memudahkan itu telah berhasil (sedikit) banyak dalam pembabatan elitisasi komunikasi, namun ia tak memberikan kesan apa-apa selain sebagai sebuah "kerja" yang menyampaikan sebuah kabar dan undangan. Selebihnya, tak ada yang istimewa sebab memang tak ada keterlibatan lebih personal dalam membuat kata-kata yang sangat singkat dan seragam.

Jika surat undangan atau kartu pos mampu membuat orang berpikir agak dalam ketika hendak menuliskan dan memilih kata, memilih warna kertas , memilih jenis kertas dan memilih jenis huruf, ada ikatan personal yang lebih real dan tertanda dibandingkan sesuatu yang memang dibuat begitu datar. intinya..ada sensasi personallah.

Saya tak anti teknologi tetapi jika teknologi bekerja mengikis kemanusiaan kita, mengasingkan kita dengan dengan apa yang kita punya dan memberikan angan-angan untuk menggapai suatu fatamorgana dan kenisbian yang memang menyenangkan. Pikir-pikir dulu sajalah...


Tetapi tunggu dulu, saya pun tak akan membiarkan hati saya jumpalitan demi perayaan bertemu dan adanya pertautan masa lalu yang bisa dijadikan daya untuk memelihara impian-impian yang masih tersisa.

Tanda akan adanya "masih hidup dalam ingatan orang" saya hargai setengah mati. Tetapi apa saya perlu merayakannya dengan membalas mereka dengan ekspresi serta merta? Tidak, akal bulus saya berpikir mungkin karena dua sahabat lama ini sedang kesepian jadi butuh teman dan kebetulan saya adalah tempat pelampiasan? Pemikiran itu juga harus saya tunda. Sebab untuk apa mereka mengorek-korek album kenangan demi menuliskan sejumput alamat pada sampul surat?

Okelah, saya memilih jalan tengah. Saya menulis balasannya namun tidak ada keharusan secepatnya membalas sebagaimana yang temanku minta. Namun terima kasihku tak kalah besar, sekalipun hampir bercampur dengan prasangka yang tak berdasar. Terima kasih...

Arsip Blog

Cari Blog Ini