Jumat, 22 Juni 2012

Aku Disebut Kucing

Hidupku di jalan, di hutan atau terkadang juga di rumahan. Aku dipelihara oleh alam raya dan dengan beberapa bantuan manusia. Aku bagian dari penderitaan keluarga miskin, ata ornament rumah orang berpunya. Manusia terhadap sebangsanya saja rasis, apalagi terhadap makhluk macam diriku. Ada jenis manusia yang sangat enggan padaku terutama kalau aku besar di jalanan dan memaksa diri untuk menjadi salah satu penduduk suatu kelaurga. Ada yang tega mengusirku, mengembalikanku ke di sebuah jalan yang kotanya lebih asing. Lalu aku jadi salah satu kucing frustasi dan kurus dengan ulu yang banyak kutunya dan gatalnya minta ampun.

Kalau aku bernasib baik, termasuk dalam ras unggulan, aku dinilai tinggi. Dielus, diberi pelayanan khusus dan naik mobil mereka bahkan boleh tidur dengan mereka. Tingkahku yang aku kira biasa saja dianggap lucu serta tampangku yang bisa menghibur manusia yang galau membuat aku makin disayang. Kadang mereka mengarahkan kamera ke arahku. Mereka suka dengan tingkahku. Kena kau manusia! Aku memang konyol tetapi lihatlah dirimu, kau pun sering bertingkah konyol tak ketulungan?!

Kalau saja kau tahu, aku juga kadang geli melihat tingkah kalian, manusia. Bahkan salah satu temanku sebangsa manusia ada yang agak bertingkah gila, masa aku dikasih makan sambel kacang juga. Coba bayangkan pertama kali aku berhasil menelan dan memasukkannya ke dalam perut. Pedas! Tak jera-jeranya manusia mengerjaiku. Yah…walau akhirnya kuakui sambal kacang itu enak juga dilidahku pada terpepetnya. Entahlah, atau sebetulnya karena aku tak punya pilihan selain menghabiskan sisa makanan manusia.

Kalau kau lihat kucing jalanan mereka memang lebih kurang beruntung, koreng di sana sini, atau kadang pincang karena hasil karya manusia; gebukan setelah ketahuan nyolong ikan asin di meja makan mereka. Ah, ada juga yang lebih buruk, aku disiram air panas membuat keulitku agak melepuh. Sakit sekali. Tetapi pada akhirnya aku memaafkan mereka, kemiskinan menjerat mereka juga, pantaslah aku tidak diterima dalam kehidupan mereka. Mohon maklumlah pada bangsaku tak diajari etika. Mungkin manusia bisa membantuku, bukannya membenci aku yang katanya kurang ajar ini. Mohon bimbingannyalah!

Ada anak kecil yang kadang menangisi kepergianku karena aku tersesat atau memang ada yang membuangnya dengan sengaja. Aku kasihan pada anak kecil itu. Kadang aku kangen dan memoriku tersingkap hingga jalan pulang ke rumah induk semangku itu aku ingat begitu saja. aku juga sering jadi kebanggaan kalau rasku tinggi, tidak hanya karena makan malamku lebih mahal daripada para petani, tetapi karena aku juga dikasih kalung yang bisa ditukar dengan beberapa kilogram beras untuk makan satu keluarga kelaparan. atau beli jeroan ayam untuk bangsaku ras rendahan.

Tetapi tak jarang aku makan tikus, nyuri ikan di kolam atau terkadang juga makan bunglon ketimpa sial, atau kadal yang kebetulan berpapasan di jalan. Aku berak di tanah atau lahan kosong lalu aku timbun kotoranku dengan apa saja agar tak terbaui. Malu aku. Dan untuk aku yang hidup numpang manusia, ada juga yang menyediakan pasir untuk berak aku. Kasiahan atau mungkin karena nggak mau aku jadi sembarangan berak dan kencing. Yang lebih mulia karena aku nggak boleh keluar sebab hargaku mahal.

Namun di jalan raya, pengendara serngkali mengumpatiku kalau aku kebetulan sedang lewat atau menikmati lampu-lampu kota dan jalanan yang ramai. Sontoloyo! Aku balik mengumpat. Salah mereka, hanya gara-gara mengenadadrai kendaraan bukan berarti jalan itu milik mereka. manusia, kucing bangsaku, juga ayam yang kbetulan ada di jalan raya pedesaan juga kena damprat. Lhooooh, memangnya engkau siapa, manusia? Makhluk hidup tunggal di muka bumi ini?

Arsip Blog

Cari Blog Ini