Rabu, 11 Juli 2012

Kurus

Kurus

Jokowi kurus karena banyak kerja, kira-kira demikian seorang petinggi partai yang pernah menjabat jadi wakil presiden dan juga jadi presiden berujar merujuk kekerempengan Jokowi. Entah dalam rangka mempromosikan Jokowinya atau malah sedang numpang promosi partainya, lupa bahwa dirinya tambun juga. Lalu apakah anda kurang kerja atau terlalu bermalas-malasan sampai badan anda melar? Mafhum mukholafahnya kan demikian. Maklumlah sang suami pengusaha cum anggota dewan, dari rezim beberapa rezim, bahkan ketika dikasih fasilitas yang dianggap "wah" dan menyilaukan mata hati rakyat kita; malah berujar wajar saja dapat fasilitas. “Pantas, kan wakilnya rakyat", kira-kira demikian kutipan bebasnya.

Tetapi andaikata memang benar kekerempengan dan kekurusan adalah indikasi kerja keras hingga lupa memanjakan lidah, kita bisa merujuk ada alm. Munir yang kerempengnya nggak ketulungan. Ada juga alm. Pram yang selalu menolak kebuncitan sejak dalam ide dan pikiran. Sementara wakil-wakil rakyatyang kita punya, ada selisih melaba antara berat badan setelah dan sebelum jadi wara (wakil rakyat). Grafik ketambunan naik.

Dan, lihat! Pemuda yang menjadi ketum sebuah partai penguasa, tambun benar, menteri-mentri yang belum lama meninggalkan predikat aktivis mereka, seragam tambunnya. Cepat benar?!!!

Lhoh, wajarlah siang malam mereka berurusan dengan kertas dan duduk di kursi kerja menghadap tumpukan data dan berkas. Sehingga tingkat nyemil tinggi dan lupa tidak olah raga. Memangnya mereka artis apa? Yang mau susah payah ngegym demi bentuk tubuh dan punya banyak waktu untuk melakukan semua itu? Mereka sibuk euy! Memangnya mereka pekerja otot? Memangnya mereka gelandangan yang tak punya rumah?

Saya tetap saja sangsi. Bukan bermaksud mau membeda-bedakan manusia berdasar gemuk- kurus. Juga bukan sedang bersikap casing-chauvinist sebagaimana yang dituduhkan saudara saya. Namun sori saja, tubuh, tetap saja adalah indikator utama manusia menilai dan merasa. Ia yang membantu kita mewujudkan apa yang ada dalam benak kita. Ia yang menjadi pekerja dalam kehidupan ini. Anda makan sembarangan, organ pencernaan akan protes. Anda lupa makan, tubuh akan protes, anda terlalu banyak melakukan aktifitas yang tak sesuati kapasitas, tubuh akan memberi sinyal kalau ia kelelahan, sakit dan tak bisa diperlakukan seenaknya.

Kalau anda tiap hari mengupdate isi otak dan mengasah kecerdasan pikiran tiap saat, kenapa kepada tubuh tidak memberikan waktu untuk meningkatkan atau paling minimal memelihara keperkasaan mereka?

Lho, tapi kalau tubuh sedikit gemuk kan bisa jadi pertanda makmur?

Pertanyaan juga boleh dibalik dong, bagaiman kalau tanda kemakmuran tak harus besar, atau bagaimana kita tak mudah rela jika tubuh kita menanggung akibat kerakusan kita?

Mengapa mesti risau dengan kemelaran tubuh? Kalau maunya langsing terus, kita menciptakan rezim untuk tubuh kita dong?!! Toh banyak orang tambun yang berkarya terus, bekerja dengan giat. Sedangkan kata langsing bisa gampang dimiliki oleh mereka yang punya duit lantaran fasilitasnya dan sudah saking tak herannya dengan makanan. Atau mereka yang hanya peduli pada bungkus doang, sampai lupa otak bawang kothong. Mau bilang apa?

Saya akui banyak manusia bertubuh tambun dan cekatan dalam bekerja. Yang membuat saya tergelitik adalah ketambunan yang menyerang dengan cepat manakala kesuksesan dan jabatan didapat. Juga keheranan saya terhadap mereka yang ngaku para aktivis yang pada awal karir kurus kerontang namun hanya beberapa tahun ke depan langsung gendut nggak ketulungan. Sementara buruh tani, buruh bangunan, buruh pabrik, kernet, tukang becak tua tetap saja menyandang kekurusan hingga usia senja. Bukan kurus karena jaga kesehatan atau apa. Namun karena bagi mereka makan itu cukup dua kali atau tiga kali dengan porsi yang sangat pas-pasan dan jauh dari mencukupi kebutuhan gizi.

Jadi kurus, untuk saat ini, adalah sebuah gerakan pembentukan badan ideal yang pro-rakyat serta sesuai dengan sila ke empat dari lima sila itu.

Ah, lagi-lagi soal takaran…

Arsip Blog

Cari Blog Ini