Sejam yang lalu, pas televisi bunyi, telinga saya hidup. Maka jadilah saya mendengar berita oarng membacok orang. Narasi samar terdengar, pertemanan di facebook. Berbincang banyak hal. Melihat profil lawan, tentu yang diperbincangkan mutu sekolahan kalau nggak ya mutu perpustakaanlah (hehe, perpustakaan otak kalik). Kagum bercokol. Namun kita tahu kagum seringkali beranak dendam atau terkadang sakit hati (baiklah saya nyambi browsing beritanya).
Mudahnya, saudara! Berteman, berbincang dalam banyak hal, mengagum hingga menganggap lawannya itu guru rohaninya. Bergulir ke obrolan di telepon. Obrolannay tentu saja hal serius yang membuat jidat berkerut. Maklum sang korban tususkan ternyata dosen filsafat di UGM. Sampai kediaman disambangi. Hingga kini disinyalir dendam menjadi motif. Entah karena diskusi-diskusi agama atau diskusi filsafat atau ada masalah pribadi. Belum jelas persis penyebabnya, kata berita.
Lalu ingatan saya mendarat pada Judas. Pikiran saya membayangankan masa duaribu kurang dua puluh tahun dan kurang beberapa bulan yang lalu. Di taman Getsemani itu…Saat Yesus sedang bergetar dan menggigil hebat oleh karena “pengatahuna” akan adanya suatu siksa berat yang akan ia pikul; menebus dosa umat manusia, bersamaan dengan itu juga setan datang menyodorkan suatu pakta yang mengggodanya; "tak ada yang sanggup menanggung beban demikian berat. Mintalah kepada Allah agar membatalkannya.", Eh, Yudas malah menukar pengkhianatan dengan ciuman.
Kok Judas?
Sebab Judas adalah pemuda yang sedang resah dengan kedholiman yang ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Penjajah romawi tarik pajak tinggi. Imam-imam agama sibuk memikirkan kemakmuran sinagog dan dirinya saja. tak bisa bertindak apa-apa, tak jarang malah ada yang bekerja sama dengan penguasa imperialis Romawi demi segepok dana.
Yudas tak tahan, Yudas dendam. Yudas marah. Kalau pakai bahasa sekarang Yudas berteriak lantang sambil mengepalkan tangan ; harus ada revolusi!!! Enak aja mereka nginjak-injak Yahudi. Usir penjajah. Dan kisah-kisah liturgy menjanjikan datangnya messiah itu. Kapan???!!!! Jerit batin Yudas.
Tak lama di depan mata terlihat , lelaki yang sebaya dengannya itu…Ia yang berani memprotes kesewenangan di muka umum. Berteriak dengah marah terhadap kesewenangan itu…Aha! Pucuk dicita ulam tiba. Ia-kah yang dijanjikan Allah untuk menjadi juru selamat?
Welcome, Jesus! Pendeknya; keakraban terjalin. Kekaguman tumbuh. Bulan madu persahabatn mulai dilalui. Sampai kapan?
Semangat keagamaan yang Yesus bawa ternyata terlalu tinggi untuk jiwa revolusioner Yudas. Yesus datang dengan kasih yang begitu radikal. Bukan mata dibalas mata kaki dibalas kaki sebagaimana dalam Taurot. Ia datang untuk mengajari manusia mengasihi musuh, member pipi kanan jika pipi kiri ditampar. Mengangkat derajat pelacur. Bahkan pelacur yang bertobat bisa jadi lebih mulia dibanding mereka yang memiliki imana tebal namun gandrung untuk memamerkan keimanan dan kebaikannya kemana-mana.
Yesus menolak saran kawannya agar menarik biaya untuk mereka yang disembuhkan dengan mu’jizatnya. Juga mengerahkan pengikutnya untuk berontak dengan cara kasar. Ia tak akan membalas mereka yang melemparinya dengan batu. Sebab barangkali baginya, jika manusia terbuka terhadap pujian mengapa tidak terhadap cacian?
Banyaknya kesusahan yang terus datang di depan mata, sementara bagi Yudas, Yesus memiliki modal untuk melawan semua itu. Yudas merajuk. Yesus bergeming. Lalu kagum itu mesti disisihkan sejengkal. Namun setelah disisihkan, ia membuat jarak yang berjurang; tiang penyaliban dan tali bunuh diri.