Senin, 23 Juli 2012

The Ides Of March : Ketika Clooney berkampanye “merevisi’ Amerika


Cerita mengenai intrik politik di mana saja hampir seragam; saling sikut, saling mencari celah, nunggu lawan lengah atau dibalik terjadinya tranasaksi politik berjalan di atas pemerasan cerita pribadi. Kalau tak ada, ciptakanlah konflik atau paling busuk adalah ciptakan jebakan. Sediakan perempaun muda untuk jebakan, sediakan pemain cadangan demi pengukuhan kekampiunanmu atau agar terkesan memiliki lawan yang tangguh. Sediakan pemain pemula untuk jadi tim suksesmu, karena manakala engkau tak memiliki permianan apa-apa atau kalah paling tidak engkau punya pemain gelandang baru yang bisa ditumbalkan.

Cara kampanyenya? Munculkan gaya yang belum pernah dimiliki pendahulunya; mulai dari apa yang ingin diperjuangkan, cara berorasi, teks pidato yang memikat yang ditampilkan dengan tulisan tangan seolah-olah sang calon yang menyusunnya sendiri. Gunakan psikologi terbalik manakala yang “positif” telah membuat orang muak. Kalau perlu sarankan mereka tak perlu memilih dirinya manakala ia adalah seperangkat kelakuan yang tak sesuai dengan norma dan prinsip kemanusiaan yang dipakai sebagai topeng dalam kampanyenya. Bukankah lebih mudah mengaku bahwa kita buruk dengan menyajikan nilai-nilai yang berlawanan. Sehingga ada pesan tersirat yang ditujukan pada para pemilih yang sedang belajar untuk menjadi pemilih agak pintar?

Kira-kira hal semacam itulah yang ingin disampaikan film The Ides of March. Adalah Stephen Meyers (Ryan Gosling), seorang pemuda idealis yang sedang menanjak karirnya sebagai konsultan politik dan menjadi tim sukses dari kandidat yang dia kira memiliki visi serta dapat dipercaya. Dengan idealismenya ia menjadi buta dan pada akhirnya “terjebak” dalam dunia politik yang sama sekali jauh dari apa yang ia perkirakan. Masuk dalam perangkap perseteruan dua pemain gaek dari masing-masing tim sukses yang bertarung. Gubernur yang ia kira memiliki visi yang cemerlang itupun ternyata juga memiliki kebusukan.

Sang Gubernur (diperankan oleh George Clooney), untuk sementara unggul visi dan misi yang ia kampanyekan di berbagai pidato kampanye seolah hendak merevisi semua kebijakan yang pernah diambil oleh pemimpin-pemimpin Amerika pendahulunya. Tak ada invansi (ingat Bush) sebab Amerika tak akan mengais minyak negara-negara Timur Tengah. Tak ada distribusi kredit dan modal hanya apada si kaya saja. Dan kata-kata yang sering ia ulang, yang sangat manjur sebagai senjata pemersatu Amerika sebagai negara yang berisi heterogenitas, mirip dengan kata-kata Ahmad Wahib : aku bukan Hindhu, aku bukan Yahudi dan aku bukan muslim. Tentu saja yang terakhir pengecualin.

Namun ganasnya dunia politik tentu menolak untuk gampang ditebak aturan permainannya. Sebab terkadang aturannya instingtif. Celah menang, goyahkan. Dan sang pemula yang sedang naik daun sebagai tim sukses itu kesandung juga. Ia menjadi tumbal perseteruan dua kampiun dari masing-masing tim sukses yang sedang berlomba. Perjuangan mati-matian yang ia mainkan demi nama baik sang kandidat, bahkan hingga “menyingkirkan” pegawai magang yang masih di bawah 21 tahun yang ditiduri oleh kandidat yang didukungnya (ingat skandal Bill Clinton dengan Lawinsky), tiba-tiba didepak dari tim sukses dengan gampangnya. Ia dicampakkan begitu saja hanya karena ketahuan bertemu pihak lawan dan mau diajak negosiasi.

Sakit hati tentu saja. Kenyataan pahit seolah membuat ia bangun dari tidur realisnya. Sementara kesuksesan yang ia impikandan hampir diraihnya tak akan ia kubur begitu saja. Buanglah kemanusiaan. Kartu truff sang kandidat ia gunakan untuk memeras. Dan puncakpun ia raih. Sekali lagi, gaya politik a la Machiavelli masih memiliki taring hingga kini. Ia menanjak hingga puncak. Ia peras sang gubernur dengan kesaksian pegawai magang yang ditiduri dan memintanya memecat sang mentor sekaligus seniornya dari tim sukses untuk kemudian posisi itu ia yang menduduki.

Tak banyak beda dari film-film politik pendahulunya. Namun ada hal yang layak kita pelajari dari sana. Dimana pada setiap permaianan ada satu peraturan yang tak bisa dilanggar: sebusuk apapun engkau bermain, prinsipnya adalah engkau memiliki kesetiaan. Pada saat engkau dipecat atau tak dipakai lagi jasanya oleh pihak yang tadinya kamu bela dan perjuangkan, bukan berarti engkau lari dan mengemis pada pihak lawan unuk sebuah pekerjaan. Dan lawan yang memiliki respektabilitas tentu akan menolak “kutu loncat” yang bisa jadi suatu saat juga tak memiliki loyalitas lalu mengkhianati pihaknya, selama ia tak diuntungkan apa-apa. Karena respek itu, dalam etos kerja ranah apapun, musti dipakai. Gampangnya, mental setia atas nama kehormatan gaya Adipati Karna adalah mental politik dasar. Bandingkah dengan yang terjadi di negeri ini akhir-akhir ini, kita sudah terbiasa mendengart dan tak lagi merasa aneh pada saat panggung politik negeri ini dibanjiri kutu loncat , seorang pelaku politik yang sudah diberhentikan oleh badan tertentu atau partai tertentu dengan tidak terhormat, malah lari atau direkrut oleh sebuah partai atauapun pihak lawan.

Barat, dengan segala sarkasme politik mereka, masih juga mampu menjejali kita dengan nilai-nilai yang layak diapresiasi. Selamat George Clooney!

Arsip Blog

Cari Blog Ini