Pulanglah engkau, wahai jiwaku sayang...
Itu tubir milik tabiat yang engkau tak sepakat. Karena itu bergegaslah mendarat pada lintasan yang kau yakini dengan segenap hati. Lihat dirimu, wahai jiwaku! Mengapa engkau melulu terbawa cumbu rayu kebahagiaan semu, terseret gerutu bisu laku, atau laku jelita yang malu-malu dan disulam dengan nada-nada penuh reka-reka, biang-biang sifat penjilat. Lebaranmu belum lama berlalu, dan kata pulang membekap tiap perjalanan engkau mengemis maaf dan mengais ampuan, seandainya saja niat itu tak salah alamat, jadi tegakkan hati, ya! Pulang bukanlah suatu kata ngawang dan angan buat senang doang. Pulang adalah engkau kembali menyusuri pahitnya kata hati, pahitnya apa yang kau imani, pahitnya apa yang kau rasai. Pulang adalah engkau kembali ke rumah tempat dirimu berasal, melampiaskan kerinduan dan keramahan manusia yang terhubung denganmu tanpa kau minta, tanpa mereka minta, dan belum tentu juga selalu bermuka penuh pesona; kadang ia adalah kekuarangan, kadang ia adalah kesederhanaan, kadang ia hanyalah penerimaan, dan kadang ia juga sesuatu yang sangat mahal setara dengan keikhlasan dan kepolosan.
Pulang, kadang juga berarti engkau mau membaca ke belakang; tentang garis yang tak bisa kau bantah, tentang jejak yang tak bisa kau hapus, tentang mereka yang memeluk bathinmu dengan begitu mesra sekalipun engkau tak pernah merasakan keberadaan mereka, enggan menghadirkan mereka yang jelas namun tak terkira dalam ziarah ingatanmu. Kemudian mencoba membaca mereka yang terhubung tanpa kau minta, mereka yang selalu ada disekitar bahkan sebelum engkau mengada dan mengenal mereka. Mereka yang pertama kali menimang jiwamu, memeluk hatimu dengan kebijakan dan kehangatan selimut asal. Dari situ, dari situlah adamu merayap dan bergerilya mencoba mendongak pada dunia, pada semesta.
Hengkahlah ! Hilang nyalang berkeliaran di kegelapan langkah. Buncahkan semangat dan nyalakan api rahmat di setiap kepal tinju yang telah engkau warisi dari para pendahulu, wahai jiwa! Ada meraka sudah cukup menjadi alasan yang berharga untuk terus bertahan tanpa harus terjerumus dalam kerumunan yang menyesatkan. Kerumunan yang memanjakan kamu dengan kebahagiaan instan, kerumunan yang membuat engkau merasa masuk dalam kemegahan paling gilang. Sementara engaku, jiwaku, terlepas dan berkeliaran tak jelas. Bukankah di meraka hanya ada kata-kata yang terucap dengan kebohongan dan kesombongan yang memang terlalu cantik untuk ikut kau rasai. Belur dan bilur di sekujur bathin yang masih ringkih dan engkau tak siap hancur. Tak siap lenyap jiwanya dalam semalam saja. Tak siap terbekap oleh sesuatu yang tak kau kenali. Sesuatu yang asing bagi kemanusiaan kita yang memiliki cara hidup dan pikir sederhana.
Ingatlah poyangmu yang polos itu. Atau camkan kisah manusia yang menanggalkan jubah kegembiraan yang sia-sia. Jangan musuhi kegembiraan mereka yang memang gembira. Jangan memusuhi keriangan mereka yang memang nyalang dan memekikkan telinga. Tetapi cobalah untuk tak perlu terusik. Tak perlu merasa disergap berisik. Biar mereka terus ngomong, anjing terus menggonggong. Kita seharusnya tetap bercakap, jiwaku. Kita seharusnya sering bertemu. Tak usah dengan sejuta kata yang merdu. Cukup kita saling pengertian. Musik dan sajak yang indah ialah ketika engkau dan aku bersepakat dalam pilihan-pilihan dan bertanggung jawab kepada mereka tanpa gerutuan.
Maka pulanglah, jiwaku! Lalu kita bikin kesepakatan seperti pada saat kedaulatan kita belum goyang, seperti pada masa kanak ketika kita begitu berkuasa dengan kemauan hati, seperti pada masa remaja ketika kita lincah mengelak dari godaan kesenangan yang percuma dan dari selaan hiburan yang merengek-rengek manja.